Selasa, 29 Desember 2020

Inilah Alasan, Kenapa Orang Islam Harus Kaya

 

Inilah Alasan, Kenapa Orang Islam Harus Kaya

 

 

 Setiap muslim pasti hafal doa sapu jagat, Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhiroti hasanah waqina 'adzabannar" yang artinya: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.” Doa itu jelas menunjukkan posisi Islam sebagai agama yang mengajarkan kepada umatnya untuk meraih kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat. Artinya umat Islam harus meraih kejayaan selama hidup di dunia dan kelak di alam keabadian.

 

Kejayaan ini dapat diraih apabila umat Islam mampu mencapai kesuksesan, termasuk dalam bidang perekonomian. Dokter Yusuf Qardawi dalam kitabnya Al Muktama Al Muslim, pada bab 9 membahas satu bab secara khusus tentang perekonomian Islam. Dari penjelasan beliau, yang menarik adalah pernyataan bahwa Islam merupakan satu-satunya agama dan satu-satunya ideologi yang menempatkan dunia berada tepat di tengah-tengah, tidak ekstrem kiri ataupun ekstrem kanan. Pernyataan ini menyiratkan bahwa Islam sebagai agama yang menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan akhirat.

 

Namun pendapat ulama besar universitas Al Azhar, Kairo tersebut, bertolak belakang dengan kondisi saat ini terutama  dalam dunia perekonomian yang menempatkan islam masih condong ke kiri, yakni menjauhi dunia. Sebagian pemuka agama masih mendoktrin umat untuk fokus pada kehidupan akhirat yang cenderung mengesampingkan keduniawian. Seringkali kita mendengar orang mengatakan hidup itu bukan hanya di dunia, tapi di akhirat? Di dunia ini cuma mampir ngombe (minum)? Buat apa menumpuk harta, toh mati tidak dibawa? Hidup hanya sementara, mengapa kita bersusah payah mencari rezeki? Toh rezeki itu sudah ada yang mengatur. Jadi, ada kesan seolah-olah kalau kita kaya akan membuat lupa pada akhirat.

 

Pendapat diatas tidak sepenuhnya salah, tapi akan melemahkan semangat kaum muslim untuk meraih kesuksesan. Seharusnya umat Islam dimotivasi untuk meraih kebahagiaan. Seperti pesan Nabi SawMeninggalkan ahli warismu dalam keadaan cukup, itu jauh lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan fakir, sehingga mereka meminta-minta kepada manusia.” Jadi, umat Islam harus berjuang untuk menjemput rezeki Allah, sehingga bisa memberikan kehidupan yang baik untuk keluarganya. Apalagi  Allah Swt. lebih menyukai muslim yang kuat iman dan nafkahnya daripada muslim yang lemah. Jadi umat Islam harus kuat, terutama dari segi ekonomi.

 

Tidak dapat dipungkiri, saat ini kita hidup di era yang serba materialisme. Ketika seseorang memiliki uang, maka dia akan memiliki power yang luar biasa untuk mengendalikan yang lain. Nah bayangkan ketika power yang luar biasa ini dipegang oleh orang yang kurang baik atau orang yang tidak salih, maka apa yang terjadi? Yang terjadi adalah kerusakan. Maka Rasulullah Saw bersabda, “Sebaik-baiknya harta itu adalah berada di tangan orang-orang yang salih”. Karena ketika power atau sumber daya itu berada di tangan orang yang baik, maka yang terjadi adalah untuk kemaslahatan umat. Ini yang harus terinstall di dalam diri kita sehingga kita berlomba-lomba meraih kemenangan.

 

Sekarang kita lihat pengaruh kekuasaan sangat luar biasa mencengkeram kehidupan berbangsa. Dengan sistem demokrasi yang kita anut, untuk menjadi kepala daerah atau kepala negara sekalipun jika tidak punya resource akan sulit sekali terwujud. Ongkos demokrasi itu sangat mahal. Maka orang yang baik harus berjuang untuk mendapatkan kekayaan agar bisa menjadi wasilah melakukan kebaikan. Saat ini betapa banyak saudara kita yang berada dalam taraf kemiskinan, makan susah, pendidikan sulit dan banyak pengangguran. Jangan sampai karena kemiskinan mereka rela menggadaikan akidahnya. Dulu tahun 1990-an beredar kabar, gara-gara sekantong mie instant, orang yang lemah iman mau berpindah keyakinan. Padahal kita sudah diingatkan oleh  Nabi Saw  Kefakiran lebih dekat dengan Kekufuran.

 

Kalau banyak umat yang hidupnya susah, kewajiban siapa memberi makan mereka? Tentu kita. Ketika masih terjadi seperti itu, maka kewajiban itu melekat pada semua orang. Kita semua ikut berdosa  jika masih ada orang yang meninggal karena tidak bisa makan, apalagi berada di sekitar kita. Pada konteks ini berlaku kaidah bahwa kewajiban apa saja yang tidak bisa sempurna tanpa sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib. Kewajiban tersebut tidak bisa terlaksana kalau tidak ada uang. Dengan kaidah lain disebutkan bahwa perintah atau kewajiban terhadap sesuatu akan mengikuti perintah terhadap wasilah-wasilah atau hubungan-hubungan antara kedua hukum yang ada. Contohnya seperti sholat dan wudhu, keduanya saling berhubungan sehingga ketika wudhunya tidak sah, maka sholatnya juga akan tidak sah .

 

 

Nikmat atau Istidroj

 

Jika Allah SWT menakdirkan kita, menjadi orang yang sukses meraih dunia, darimana kita tahu kalau itu adalah nikmat atau istidroj? Mari kita renungkan, kesuksesan yang sudah kita dapat ini merupakan nikmat dari Allah atau istidroj? Itidroj adalah apabila kita diberi kenikmatan sehingga semua hak-hak kita ditunaikan di dunia, tapi nanti di akhirat kita sudah tidak mendapat bagian lagi. Dan bisa jadi dalam akhir hidup kita akan ditimpa azab yang datang tiba-tiba. Naudzubillah min dzalik. Apabila dunia yang kita peroleh ini adalah istidroj mending kita nggak usah mengejarnya. Namun selama kita mendapatkan rezeki dari jalan yang lurus, kita harus yakin harta kita nanti akan menjadi wasilah kita masuk surga.

 

Ada sebuah cerita dari sahabat Nabi yang kekayaannya sangat mahsyur, yakni Abdurahman bin Auf. Suatu ketika ia mendengar Aisyah Ra menyebutkan bahwa Rasulullah Saw mengatakan Abdurahman bin Auf masuk surga belakangan karena hisabnya banyak. Maka beliau langsung membawa 500 ekor kuda dan unta lengkap dengan isinya. Ketika masuk ke kota Madinah, masyarakat mendengar suara gemuruh yang sangat besar hingga bertanya-tanya ada peristiwa apa? lalu ada yang menjawab kalau Abdurahman bin Auf datang. Kemudian Abdurahman bin Auf mendatangi Aisyah dan berkata, “Hai Aisyah saksikanlah aku infaqkan seluruh yang aku bawa hari ini ke jalan Allah.”

 

Apa yang dilakukan Abdurahman bin Auf merupakan perkara yang sangat mendasar. Kenapa dikatakan mendasar? Karena kita semua tentu ingin kesuksesan itu memang betul-betul nikmat yang membawa kita kepada rida Allah SWT. Jangan sampai sukses ini menjadi istidroj atau penghalang hisab kita. Sehingga apabila kekayaan itu menjadi penghalang kita di akhirat, maka sebaiknya kita  mensedekahkan harta kita agar meringankan hisab kita nanti.

 

Nah, jika  kita sudah berusaha dan berdoa kepada Allah, tetapi kok nggak diijabah, maka kita harus tetap berprasangka baik pada Allah. Kita harus menerima takdir ini sebagai bentuk rasa sayang Allah pada kita. Bisa jadi jika kita diberi harta berlimpah, diberi kesuksesan malah nggak justru semakin lalai terhadap kewajiban kepada Allah sehingga menjadi penghalang hisab di hari kiamat. Kita memang harus sukses, bahkan wajib sukses untuk meraih kesuksesan di akhirat atau menjadi wasilah kita ke akhirat.

 

Ada sebuah cerita menarik tentang kisah Imam Syafi’i. Beliau seorang yang sangat luar biasa karena berguru pada imam-imam besar, bahkan juga kepada Imam Malik. Pada waktu itu Imam Malik mengarang kitab kumpulan hadis yang paling mahsyur. Imam Syafii awalnya memiliki pemikiran yang begitu skeptis pada orang kaya. Dalam pikiran beliau, orang salih itu harus zuhud dari dunia, maka ketika  mendengar rumah Imam Malik yang karpetnya begitu tebal, rumahnya besar, beliau sangat kaget. Tapi karena beliau ingin berguru, maka Imam Syafi’i tetap meluruskan niatnya. Namun ternyata Imam Malik memahami apa yang ada di dalam kepala Imam Syafii.

 

Kemudian Imam Syafi’i belajar kitab Al-Muwaqok, dihafalkan dalam waktu yang amat singkat sehingga lulus dari ujian Imam Malik. Kemudian Imam Malik meminta Imam Syafii untuk berguru pada ulama yang lebih hebat lagi. Kata Imam Malik, “Kamu sebenarnya harus berguru ke Imam Abu Hanifah, tetapi karena Imam Abu Hanifah sudah tidak ada, maka kamu harus berguru ke murid Imam Abu Hanifah yang paling utama, yaitu Imam Ahmad bin Hasan.”

 

Imam Malik tinggal di Kufah, Mekah, sedangkan Imam Hasan atau Imam Abu Hanifah di Baghdad, Irak. Beliau lalu diantar langsung oleh Imam Malik dan diberi bekal sekitar 60-80 dinar. Imam Malik sebagai guru memberikan bekal kepada Imam Syafii yang kalau dikurskan, totalnya mencapai Rp. 100 juta lebih. Dari situ Imam Syafi’i berpikir, “Ulama seperti ini keren juga, kita yang mau pergi belajar  tapi kita malah disangoni”

 

Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama, sampailah beliau ke tempat Imam Abu Hasan. Kalau sebelumnya  Imam Syafi,i melihat rumah Imam Malik sudah terkejut, maka setelah melihat rumah Imam Abu Hasan, beliau tambah kaget lagi. Kenapa? Rumahnya besar luar biasa, terus saat baru masuk di dalam rumah Imam Hasan sedang menghitung emas. Imam Abu Hasan tahu apa yang ada di dalam pikiran Imam Syafi’i, lalu berkata, “Bagaimana kalau seandainya emas ini dikasihkan kepada orang-orang yang fasik saja?” Imam Syafi menjawab,”Jangan Imam, nanti kalau diberikan kepada orang yang fasik justru akan menjadi kemudharatan. Nanti justru tidak menjadi maslahat, sebaiknya untuk amal saja.”

 

Dari kisah diatas, jika umat Islam tidak kaya, lalu umat lain kaya, maka umat Islam akan sulit berkontribusi Apalagi jika uang itu beredar lebih banyak ditangan orang- orang jahat, maka indikasi masyarakat akan rusak. Tetapi, bila uang itu beredar di tangan orang- orang salih, insya Allah, indikasi masyarakat kian sehat.  Uang akan bermanfaat bila ditangan orang yang baik atau tepat karena kalau uang itu akan mengalir di saluran- saluran yang baik.

 

Setelah peristiwa itu, baru kemudian pendapat-pendapat Imam Syafii kepada dunia mulai berubah. Bahkan beliau mengatakan kalau kafir zimmy yang mempunyai rumah dengan lantai satu, maka orang Islam harus memiliki rumah lebih daripada itu. Jadi izzah harga diri itu harus berada di tangan umat islam. Paling nggak di tangan orang baik agar kemaslahatan untuk seluruh umat, seluruh bangsa dan negara, jangan sampai berada di tangan orang yang tidak benar.

 

Dari kitab Mauisotul mukminin, karangan Imam Jamaludin, beliau mengatakan hal yang indah sekali, “Ketahuilah seseorang tidak dikatakan bersyukur kepada Tuhannya selagi dia belum mampu menjadikan nikmat yang telah ia terima  sebagai sarana untuk mahabah kepada Allah SWT”. Jadi kita harus mengupayakan untuk hal-hal yang Allah cinta kepadanya, bukan kepada kesenangan pribadi. Jangan sampai ketika Allah memberikan kesuksesan maka kita gunakan untuk kesenangan diri sendiri, bukan untuk kemaslahatan umat. Seorang hamba menggunakan nikmatnya untuk hal-hal yang tidak dicintai Allah, maka sungguh dia sedang mengkufuri nikmat.

 

Jika kita ingin menjadi pengusaha sukses, menjadi orang kaya, boleh, bagus, dan harus, tapi niatnya harus kita luruskan. Bahwa kita akan mendapatkan rezeki untuk meraih rida Allah SWT dan nanti sumber daya yang kita peroleh akan digunakan untuk ibadah dan beramal salih. Dengan demikian jika Allah memberikan kita kejayaan dunia, maka harus kita gunakan untuk hal-hal yang dicintai Allah, sehingga definisi syukur di antara ulama adalah menggunakan nikmat-nikmat sesuai dengan kehendak Allah SWT.

 

 

Kenapa Harus Kaya?

 

Menurut data Wikipedia, sebuah penelitian pada tahun 2019, menunjukkan jumlah umat Islam di dunia memiliki 1,9 miliar penganut, yang membentuk sekitar 22 % populasi dunia.  Meski dalam jumlah populasi dunia, umat muslim nomor dua di dunia, namun dalam hal perekonomian masih tertinggal jauh dari Negara-negara non muslim.  Buktinya berdasarkan data Dana Moneter Internasional, perekonomian dunia saat ini dikuasai oleh Negara yang memiliki PDB (Product Domestic Bruto) atau aset terbesar yakni Amerika Serikat, Tiongkok, Jepang, Jerman dan Perancis. 

 

Adakah negara-negara Islam yang kaya?. Ada, tapi kebanyakan Negara Kerajaan seperti Arab Saudi, Uni Emirates Arab, Qatar, Bahrain Oman dan Brunei Darussalam. Hampir semua negara yang mayoritas muslim menikmati kejayaan karena sumber daya alam, bukan dari sumber daya manusia. Negara Teluk kaya dari hasil pertambangan minyak. Ini menunjukan kekayaan itu berasal dari potensi alam atau anugerah Allah Swt bukan kemampuan memaksimalkan potensi  manusia.

 

Dalam rilis 100 orang kaya di dunia versi majalah Forbes, Orang terkaya di dunia didominasi dari negara-negara Barat, sebut saja Jessf Bezos, pemilik Amazon, kemudian Bill Gates pemilik Microsoft, lalu Warren Buffet pengusaha Berkshire Hathaway dan sebagainya. Sedangkan jumlah pengusaha muslim yang masuk jajaran 100 top Forbes dunia hanya 7 orang antara lain;  Sahid Khan, Muhammad Isa bin Jabier, Muhammad Al Amoudi,  Aliko Dangote, Al Waleed Bin Talal, Sultan Hasanal Bolkiah dan Presiden Uni Emirat Arab Khalifa bin Zayed.

 

Bagaimana dengan di Indonesia? Forbes melansir jajaran 100 orang terkaya Indonesia tahun 2019 ditempati oleh Hartono bersaudara, Keluarga Widjaja, dan Prajogo Pangestu. Dari data tersebut menunjukkan hanya ada satu pengusaha muslim Indonesia yang masuk 10 besar terkaya di tanah air yakni Chairul Tanjung. Fakta ini menjadi bukti lemahnya umat Islam di Indonesia dalam menguasai sektor bisnis dan ekonomi. Semestinya secara proporsional dari 10 orang terkaya di negeri ini, 9 orang beragama Islam sebab umat Islam merupakan mayoritas dengan jumlah mencapai hampir 90 persen dari total penduduk Indonesia.

     

Dengan kondisi tersebut, saat ini secara ekonomi, dunia masih “diatur” oleh negara adi kuasa. Jika umat Islam mampu mendominasi perekonomian dunia, maka akan ikut menentukan arah kebijakan perpolitikan dunia sehingga tidak ada lagi negara negara yang mayoritas muslim mengalami penindasan. Dengan demikian kejayaan ekonomi sangat mempengaruhi kebijakan yang bisa mengubah dunia.

 

Ada sebuah cerita, dulu di Madinah, pasar dan sumber air sempat dikuasai kaum non muslim. Kemudian Nabi Saw langsung mengutus Abu Bakar dan Abdurahman bin Auf untuk menguasai balik sumber air itu dengan membelinya dari kaum Yahudi. Dengan menguasai sumber air maka akan menguasai hajat hidup orang banyak. Sehingga Nabi menganjurkan Islam menjadi kuat dan menang dalam persaingan dengan umat lain.

 

Sebagai muslim, ayo meneladani Rasulullah. Nabi Muhammad Saw yang pernah miskin tapi hanya sebentar. Faktanya, beliau lebih lama menjadi orang kaya ketimbang miskin. Beliau menjadi pedagang sejak usia 12 tahun dan menjadi pengusaha selama 25 tahun. Perdagangannya ke luar negeri sekitar 18 kali meliputi  Yaman, Syria, Irak, Yordania dan Bahrain. Terus berapa kali kita ke luar negeri? Biasanya untuk ibadah umroh atau haji ke tanah suci.

 

Saat menikah, Nabi menyerahkan 20 unta muda sebagai mas kawin, senilai uang  sekarang sekitar satu miliar rupiah. Nabi juga memiliki unta pilihan al Qashwa dan keledai pilihan untuk memudahkan perjalanan dan perjuangan. Dari situ saja, sudah tergambar Nabi termasuk orang kaya. Cuma setelah menerima wahyu, beliau menafkahkan kekayaannya ke jalan Allah dan hidupnya sangat sederhana. Jangan mentang-mentang mahar untuk menikah cuma seperangkat alat shalat dibayar tunai sudah sah, terus kita tidak perlu jadi orang kaya.

 

Jika dirunut dari sejarah, Muhammad ketika masih remaja adalah seorang pekerja keras dan sudah termasuk sebagai pemuda kaya. Oleh karena kejujuran dan kesuksesannya dalam berbisnis, maka Khadijah, seorang janda yang kaya dan juga seorang pedagang tertarik terhadap kepribadian Muhammad. Wanita miliarder itu lalu mengangkat Muhammad sebagai mitranya untuk dipercaya mengelola bisnisnya, dan akhirnya mereka pun menikah.

 

Selain Nabi Saw, ada juga sahabat yang kaya raya. Umar bin Khattab mewariskan 70 ribu properti sepanjang wilayah Aris dan Khaibar senilai trilyunan rupiah. Masih kurang lagi, alasan harus kaya. Dulu, Islam dibawa ke Indonesia oleh para pedagang Gujarat dari India yang kaya, sebab kalau tidak kaya mana bisa jalan-jalan ke luar negeri. Di Indonesia, pimpinan Wali Songo, Maulana Maghribi dan pendiri NU serta Muhammadiyah adalah orang-orang kaya. Lha, katanya kita harus meneladani para pemimpin, berarti kita juga harus kaya dong.

 

Rasulullah Saw. dan para sahabatnya telah memberi contoh bahwa mereka tidak menghindar dari kekayaan. Mereka bekerja keras untuk menjemput rezeki dan hasil akhir dari upaya itu disandarkan kepada Allah. Sebab Allah jua yang berhak memberikan rezeki atas jerih payah mereka.

 


 

Kaya yang Bermanfaat

 

Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.” Ini adalah hadist Rasul. Sekarang coba mulai bertanya kepada diri sendiri: Dalam hidup ini, sukakah jika kita sebagai golongan tangan di bawah? Tentu tidak. Tangan di bawah artinya, seseorang yang senantiasa mengharap bantuan orang lain. Dalam hidup ini, pasti kita ingin lebih terhormat, dengan menjadi tangan di atas. Artinya menjadi manusia yang suka memberi pertolongan kepada orang lain. Bukankah hidup akan berarti apabila kita dapat memberikan sesuatu yang terbaik kepada sesama.    

 

Sepanjang kita bicara untuk kepentingan umat, maka kekayaan itu akan mengantarkan kepada kebahagiaan yang sebenarnya. Karena hidup kita bisa memberikan manfaat untuk orang lain, maka umur kita akan dipanjangkan Allah. Maksudnya dipanjangkan adalah karena amal kita, maka nama kita akan dikenang sepanjang masa. Kaya dapat menjadikan seseorang mulia jika mempunyai akhlak yang baik, tawadhu’ (tidak sombong), gemar memberi kepada orang lain.  Kekayaan yang demikian akan membuat kita dimuliakan sesama manusia maupun dimuliakan  Allah Swt. Berarti kaya merupakan sarana (jalan) untuk memudahkan kita menempuh kesempurnaan dalam beribadah.

 

Dari kenyataan itu, bukan sesuatu yang tidak wajar bila tokoh-tokoh Islam menyerukan bahwa dunia Islam harus kaya, orang-orang Islam atau kaum muslim harus kaya. Tidak sekedar kaya karena negerinya diberkahi kekayaan alam yang luar biasa, tetapi kaum muslim juga bisa menjadi kaya karena bekerja keras dan cerdas. Sekarang ini kesannya tidak demikian. Negeri-negeri Islam di Jazirah Arab memang kaya alamnya, tetapi yang mengelola orang-orang asing. Demikian juga di Indonesia, sumber alamnya banyak dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan asing.

Dengan kekayaan kita bisa mengulurkan tangan dan membantu sesama lebih banyak lagi. Kita akan leluasa bersedekah dan melakukan aktivitas sosial semisal mengentaskan kemiskinan anak yatim, mendirikan panti-panti, menyumbang pembangunan rumah ibadah dan sarana pendidikan, berangkat haji, dan lain-lain. Jika tidak kaya, dari manakah dana untuk keperluan itu? Karenanya, orang Islam harus kaya!

 

Satu diantara orang kaya yang dermawan jaman sekarang adalah Sulaiman Ar Rajhi , pemilik bank Ar Rajhi di Arab Saudi. Bank Ar Rajhi merupakan bank syariah yang memiliki lebih dari 600 cabang di dunia dengan aset mencapai $88 miliar US. Sulaiman Ar Rajhi yakin bahwa untuk meraih kesuksesan, maka seseorang harus menjalankan bisnis. Selain perbankan, ia juga memiliki kebun kurma terbesar di dunia seluas 5000 hektar yang ditumbuhi sekitar 200 ribu pohon kurma.

 

Kekayaan pribadi Sulaiman Ar Rajhi sebanyak $ 7,7 miliar US dan sebagian besar disumbangkan ke lembaga amal untuk keperluan pendidikan dan kesejahteraan masyarakat di negara Arab. Selain menyumbangkan hartanya untuk amal. Sulaiman Al Rajhi juga membangun sebuah kampus bernama Sulaiman Al Rajhi University di tanah kelahirannya. Universitas ini digratiskan bagi masyarakat miskin yang ingin belajar tentang kesehatan dan perbankan Islam yang dewasa ini mulai merambah negara-negara di kawasan Eropa.

Kebun kurma milik Sulaiman Ar Rajhi juga  diwakafkan untuk kepentingan Islam. Hasil panennya dibagikan kepada lembaga-lembaga amal dan Haramain yaitu Masjidil Haram dan Masjid Nabawi dimana setiap Bulan Ramadhan, kurma tersebut disajikan untuk menu buka bersama. Kebun Kurma ini tercatat sebagai wakaf terbesar di dunia. Selain itu Suilaman Ar Rajhi juga membangun masjid yang cukup megah dan besar di jantung Kota Riyadh yang bisa menampung 18.000 jama’ah. Inilah contoh bagaimana kekayaan ini digunakan untuk kemanfaatan sebanyak-banyakmya umat sehingga memberikan keberkahan.

 

-o0o-