Inilah Alasan, Kenapa Orang Islam Harus Kaya
Kejayaan ini dapat diraih apabila umat Islam mampu mencapai kesuksesan,
termasuk dalam bidang perekonomian. Dokter Yusuf Qardawi dalam kitabnya Al Muktama Al Muslim, pada bab 9 membahas satu bab secara khusus tentang
perekonomian Islam. Dari penjelasan beliau, yang menarik adalah pernyataan bahwa Islam merupakan
satu-satunya agama dan satu-satunya ideologi yang menempatkan
dunia berada tepat di tengah-tengah, tidak ekstrem kiri ataupun ekstrem kanan. Pernyataan
ini menyiratkan bahwa Islam sebagai agama yang menyeimbangkan antara kehidupan
dunia dan akhirat.
Namun pendapat ulama
besar universitas Al Azhar, Kairo tersebut, bertolak belakang dengan kondisi saat
ini terutama dalam dunia perekonomian yang
menempatkan islam masih condong ke kiri, yakni menjauhi dunia. Sebagian pemuka
agama masih mendoktrin umat untuk fokus pada kehidupan akhirat yang cenderung
mengesampingkan keduniawian. Seringkali
kita mendengar orang mengatakan hidup itu bukan hanya di dunia, tapi di akhirat? Di dunia ini cuma mampir
ngombe (minum)? Buat apa menumpuk harta, toh mati tidak dibawa? Hidup hanya sementara, mengapa kita bersusah payah mencari rezeki? Toh
rezeki itu sudah ada yang mengatur. Jadi, ada kesan seolah-olah kalau kita kaya akan membuat lupa pada akhirat.
Pendapat diatas tidak
sepenuhnya salah, tapi akan melemahkan semangat kaum muslim untuk meraih
kesuksesan. Seharusnya umat Islam dimotivasi untuk meraih kebahagiaan. Seperti pesan Nabi Saw “Meninggalkan ahli warismu dalam
keadaan cukup, itu jauh lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan
fakir, sehingga mereka meminta-minta kepada manusia.” Jadi, umat Islam
harus berjuang untuk menjemput rezeki Allah, sehingga bisa memberikan kehidupan
yang baik untuk keluarganya. Apalagi
Allah Swt. lebih menyukai muslim yang kuat iman dan nafkahnya daripada
muslim yang lemah. Jadi umat Islam harus kuat, terutama dari segi ekonomi.
Tidak dapat
dipungkiri, saat ini kita hidup di era yang serba materialisme. Ketika seseorang
memiliki uang, maka dia akan memiliki power yang luar biasa untuk mengendalikan
yang lain. Nah bayangkan ketika power yang luar biasa ini dipegang oleh orang
yang kurang baik atau orang yang tidak salih, maka apa yang terjadi? Yang
terjadi adalah kerusakan. Maka Rasulullah Saw bersabda, “Sebaik-baiknya harta itu adalah berada di tangan orang-orang yang salih”.
Karena ketika power atau sumber daya itu berada di tangan orang yang baik, maka
yang terjadi adalah untuk kemaslahatan umat. Ini yang harus terinstall di dalam
diri kita sehingga kita berlomba-lomba meraih kemenangan.
Sekarang kita lihat
pengaruh kekuasaan sangat luar biasa mencengkeram kehidupan berbangsa. Dengan
sistem demokrasi yang kita anut, untuk menjadi kepala daerah atau kepala negara
sekalipun jika tidak punya resource akan sulit sekali terwujud. Ongkos
demokrasi itu sangat mahal. Maka orang yang baik harus berjuang untuk
mendapatkan kekayaan agar bisa menjadi wasilah melakukan kebaikan. Saat ini betapa
banyak saudara kita yang berada dalam taraf kemiskinan, makan susah, pendidikan
sulit dan banyak pengangguran. Jangan sampai karena kemiskinan mereka rela
menggadaikan akidahnya. Dulu tahun 1990-an beredar kabar, gara-gara sekantong mie instant, orang yang lemah iman mau berpindah keyakinan. Padahal kita
sudah diingatkan oleh Nabi Saw ”Kefakiran lebih dekat dengan Kekufuran.”
Kalau banyak umat yang
hidupnya susah, kewajiban siapa memberi makan mereka? Tentu kita. Ketika masih
terjadi seperti itu, maka kewajiban itu melekat pada semua orang. Kita semua ikut
berdosa jika masih ada orang yang
meninggal karena tidak bisa makan, apalagi berada di sekitar kita. Pada konteks
ini berlaku kaidah bahwa kewajiban apa saja yang tidak bisa sempurna tanpa
sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib. Kewajiban tersebut tidak bisa
terlaksana kalau tidak ada uang. Dengan kaidah lain disebutkan bahwa perintah
atau kewajiban terhadap sesuatu akan mengikuti perintah terhadap
wasilah-wasilah atau hubungan-hubungan antara kedua hukum yang ada. Contohnya
seperti sholat dan wudhu, keduanya saling berhubungan sehingga ketika wudhunya
tidak sah, maka sholatnya juga akan tidak sah .
Nikmat atau
Istidroj
Jika Allah SWT menakdirkan kita, menjadi orang yang
sukses meraih dunia, darimana kita tahu kalau itu adalah nikmat atau istidroj?
Mari kita renungkan, kesuksesan yang sudah kita dapat ini merupakan nikmat dari
Allah atau istidroj? Itidroj adalah apabila kita diberi kenikmatan sehingga
semua hak-hak kita ditunaikan di dunia, tapi nanti di akhirat kita sudah tidak mendapat
bagian lagi. Dan bisa jadi dalam akhir hidup kita akan ditimpa azab yang datang
tiba-tiba. Naudzubillah min dzalik. Apabila dunia yang kita peroleh ini adalah
istidroj mending kita nggak usah mengejarnya. Namun selama kita mendapatkan
rezeki dari jalan yang lurus, kita harus yakin harta kita nanti akan menjadi
wasilah kita masuk surga.
Ada sebuah cerita dari
sahabat Nabi yang kekayaannya sangat mahsyur, yakni Abdurahman bin Auf. Suatu ketika
ia mendengar Aisyah Ra menyebutkan bahwa Rasulullah Saw mengatakan Abdurahman
bin Auf masuk surga belakangan karena hisabnya banyak. Maka beliau langsung
membawa 500 ekor kuda dan unta lengkap dengan isinya. Ketika masuk ke kota
Madinah, masyarakat mendengar suara gemuruh yang sangat besar hingga
bertanya-tanya ada peristiwa apa? lalu ada yang menjawab kalau Abdurahman bin
Auf datang. Kemudian Abdurahman bin Auf mendatangi Aisyah dan berkata, “Hai Aisyah saksikanlah aku infaqkan seluruh
yang aku bawa hari ini ke jalan Allah.”
Apa yang dilakukan
Abdurahman bin Auf merupakan perkara yang sangat mendasar. Kenapa dikatakan
mendasar? Karena kita semua tentu ingin kesuksesan itu memang betul-betul
nikmat yang membawa kita kepada rida Allah SWT. Jangan sampai sukses ini
menjadi istidroj atau penghalang hisab kita. Sehingga apabila kekayaan itu
menjadi penghalang kita di akhirat, maka sebaiknya kita mensedekahkan harta kita agar meringankan
hisab kita nanti.
Nah, jika kita sudah berusaha dan berdoa kepada Allah,
tetapi kok nggak diijabah, maka kita harus tetap berprasangka baik pada Allah.
Kita harus menerima takdir ini sebagai bentuk rasa sayang Allah pada kita. Bisa
jadi jika kita diberi harta berlimpah, diberi kesuksesan malah nggak justru
semakin lalai terhadap kewajiban kepada Allah sehingga menjadi penghalang hisab
di hari kiamat. Kita memang harus sukses, bahkan wajib sukses untuk meraih
kesuksesan di akhirat atau menjadi wasilah kita ke akhirat.
Ada sebuah cerita menarik
tentang kisah Imam Syafi’i. Beliau seorang yang sangat luar biasa karena
berguru pada imam-imam besar, bahkan juga kepada Imam Malik. Pada waktu itu
Imam Malik mengarang kitab kumpulan hadis yang paling mahsyur. Imam Syafii
awalnya memiliki pemikiran yang begitu skeptis pada orang kaya. Dalam pikiran
beliau, orang salih itu harus zuhud dari dunia, maka ketika mendengar rumah Imam Malik yang karpetnya
begitu tebal, rumahnya besar, beliau sangat kaget. Tapi karena beliau ingin
berguru, maka Imam Syafi’i tetap meluruskan niatnya. Namun ternyata Imam Malik
memahami apa yang ada di dalam kepala Imam Syafii.
Kemudian Imam Syafi’i
belajar kitab Al-Muwaqok, dihafalkan dalam waktu yang amat singkat sehingga
lulus dari ujian Imam Malik. Kemudian Imam Malik meminta Imam Syafii untuk berguru
pada ulama yang lebih hebat lagi. Kata Imam Malik, “Kamu sebenarnya harus berguru ke Imam Abu Hanifah, tetapi karena Imam
Abu Hanifah sudah tidak ada, maka kamu harus berguru ke murid Imam Abu Hanifah
yang paling utama, yaitu Imam Ahmad bin Hasan.”
Imam Malik tinggal di
Kufah, Mekah, sedangkan Imam Hasan atau Imam Abu Hanifah di Baghdad, Irak.
Beliau lalu diantar langsung oleh Imam Malik dan diberi bekal sekitar 60-80
dinar. Imam Malik sebagai guru memberikan bekal kepada Imam Syafii yang kalau dikurskan,
totalnya mencapai Rp. 100 juta lebih. Dari situ Imam Syafi’i berpikir, “Ulama seperti ini keren juga, kita yang mau
pergi belajar tapi kita malah disangoni”
Setelah menempuh
perjalanan yang cukup lama, sampailah beliau ke tempat Imam Abu Hasan. Kalau sebelumnya
Imam Syafi,i melihat rumah Imam Malik
sudah terkejut, maka setelah melihat rumah Imam Abu Hasan, beliau tambah kaget
lagi. Kenapa? Rumahnya besar luar biasa, terus saat baru masuk di dalam rumah Imam
Hasan sedang menghitung emas. Imam Abu Hasan tahu apa yang ada di dalam pikiran
Imam Syafi’i, lalu berkata, “Bagaimana
kalau seandainya emas ini dikasihkan kepada orang-orang yang fasik saja?”
Imam Syafi menjawab,”Jangan Imam, nanti
kalau diberikan kepada orang yang fasik justru akan menjadi kemudharatan. Nanti
justru tidak menjadi maslahat, sebaiknya untuk amal saja.”
Dari kisah diatas, jika umat Islam tidak kaya, lalu umat lain kaya, maka
umat Islam akan sulit berkontribusi Apalagi jika uang itu beredar lebih banyak
ditangan orang- orang jahat, maka indikasi masyarakat akan rusak. Tetapi, bila
uang itu beredar di tangan orang- orang salih, insya Allah, indikasi masyarakat
kian sehat. Uang akan bermanfaat bila ditangan orang yang baik atau tepat
karena kalau uang itu akan mengalir di saluran- saluran yang baik.
Setelah peristiwa itu,
baru kemudian pendapat-pendapat Imam Syafii kepada dunia mulai berubah. Bahkan
beliau mengatakan kalau kafir zimmy yang mempunyai rumah dengan lantai satu,
maka orang Islam harus memiliki rumah lebih daripada itu. Jadi izzah harga diri
itu harus berada di tangan umat islam. Paling nggak di tangan orang baik agar
kemaslahatan untuk seluruh umat, seluruh bangsa dan negara, jangan sampai
berada di tangan orang yang tidak benar.
Dari kitab Mauisotul
mukminin, karangan Imam Jamaludin, beliau mengatakan hal yang indah sekali, “Ketahuilah seseorang tidak dikatakan
bersyukur kepada Tuhannya selagi dia belum mampu menjadikan nikmat yang telah
ia terima sebagai sarana untuk mahabah
kepada Allah SWT”. Jadi kita harus mengupayakan untuk hal-hal yang Allah
cinta kepadanya, bukan kepada kesenangan pribadi. Jangan sampai ketika Allah
memberikan kesuksesan maka kita gunakan untuk kesenangan diri sendiri, bukan
untuk kemaslahatan umat. Seorang hamba menggunakan nikmatnya untuk hal-hal yang
tidak dicintai Allah, maka sungguh dia sedang mengkufuri nikmat.
Jika kita ingin
menjadi pengusaha sukses, menjadi orang kaya, boleh, bagus, dan harus, tapi
niatnya harus kita luruskan. Bahwa kita akan mendapatkan rezeki untuk meraih
rida Allah SWT dan nanti sumber daya yang kita peroleh akan digunakan untuk
ibadah dan beramal salih. Dengan demikian jika Allah memberikan kita kejayaan
dunia, maka harus kita gunakan untuk hal-hal yang dicintai Allah, sehingga
definisi syukur di antara ulama adalah menggunakan nikmat-nikmat sesuai dengan
kehendak Allah SWT.
Kenapa Harus Kaya?
Menurut data Wikipedia, sebuah penelitian pada tahun 2019, menunjukkan
jumlah umat Islam di dunia memiliki 1,9 miliar penganut, yang membentuk sekitar
22 % populasi dunia. Meski dalam jumlah populasi dunia,
umat muslim nomor dua di dunia, namun dalam hal perekonomian masih tertinggal jauh dari
Negara-negara non muslim. Buktinya
berdasarkan data Dana Moneter Internasional, perekonomian dunia saat ini dikuasai oleh Negara yang memiliki PDB
(Product Domestic Bruto) atau aset terbesar yakni Amerika Serikat, Tiongkok,
Jepang, Jerman dan Perancis.
Adakah negara-negara Islam yang kaya?. Ada, tapi kebanyakan Negara
Kerajaan seperti Arab Saudi, Uni Emirates Arab, Qatar, Bahrain Oman dan Brunei
Darussalam. Hampir semua negara yang mayoritas muslim menikmati kejayaan karena
sumber daya alam, bukan dari sumber daya manusia. Negara Teluk kaya dari hasil
pertambangan minyak. Ini menunjukan kekayaan itu berasal dari potensi alam atau
anugerah Allah Swt bukan kemampuan memaksimalkan potensi manusia.
Dalam rilis 100 orang kaya di dunia versi majalah Forbes, Orang terkaya di dunia didominasi dari negara-negara Barat, sebut saja Jessf Bezos, pemilik Amazon, kemudian Bill Gates pemilik Microsoft, lalu Warren Buffet pengusaha Berkshire Hathaway dan sebagainya. Sedangkan jumlah pengusaha muslim yang masuk jajaran 100 top Forbes dunia
hanya 7 orang antara lain; Sahid Khan,
Muhammad Isa bin Jabier, Muhammad Al Amoudi, Aliko Dangote, Al Waleed Bin Talal, Sultan Hasanal Bolkiah dan Presiden Uni Emirat Arab Khalifa bin Zayed.
Bagaimana dengan di Indonesia? Forbes melansir jajaran 100 orang terkaya Indonesia tahun 2019 ditempati oleh Hartono bersaudara,
Keluarga Widjaja, dan Prajogo Pangestu. Dari data tersebut menunjukkan hanya ada satu pengusaha muslim Indonesia yang masuk 10 besar terkaya di tanah air yakni Chairul Tanjung.
Fakta ini menjadi bukti lemahnya umat Islam di Indonesia dalam menguasai sektor
bisnis dan ekonomi. Semestinya secara proporsional dari 10 orang terkaya di
negeri ini, 9 orang beragama Islam sebab umat Islam merupakan mayoritas dengan
jumlah mencapai hampir 90 persen dari total penduduk Indonesia.
Dengan kondisi tersebut, saat ini secara ekonomi,
dunia masih “diatur” oleh negara adi kuasa. Jika umat Islam mampu mendominasi
perekonomian dunia, maka akan ikut menentukan arah kebijakan perpolitikan dunia
sehingga tidak ada lagi negara negara yang mayoritas muslim mengalami
penindasan. Dengan demikian kejayaan ekonomi sangat mempengaruhi kebijakan yang
bisa mengubah dunia.
Ada sebuah cerita, dulu di Madinah, pasar dan sumber air sempat dikuasai
kaum non
muslim. Kemudian Nabi Saw langsung mengutus Abu Bakar dan Abdurahman bin Auf untuk menguasai balik
sumber air itu dengan membelinya dari kaum Yahudi. Dengan menguasai sumber air maka
akan menguasai hajat hidup orang banyak. Sehingga Nabi menganjurkan Islam menjadi kuat dan menang dalam persaingan dengan
umat lain.
Sebagai muslim, ayo meneladani Rasulullah. Nabi Muhammad Saw yang pernah miskin tapi hanya sebentar. Faktanya, beliau lebih lama menjadi
orang kaya ketimbang miskin. Beliau menjadi pedagang sejak usia 12 tahun dan
menjadi pengusaha selama 25 tahun. Perdagangannya ke luar negeri sekitar 18
kali meliputi Yaman, Syria, Irak, Yordania
dan Bahrain. Terus berapa kali kita ke luar negeri? Biasanya untuk ibadah umroh
atau haji ke tanah suci.
Saat menikah, Nabi menyerahkan 20 unta muda sebagai mas kawin, senilai
uang sekarang sekitar satu miliar
rupiah. Nabi juga memiliki unta pilihan al Qashwa dan keledai pilihan untuk memudahkan
perjalanan dan perjuangan. Dari situ saja, sudah tergambar Nabi termasuk orang
kaya. Cuma setelah
menerima wahyu, beliau
menafkahkan kekayaannya ke jalan Allah dan hidupnya sangat sederhana. Jangan
mentang-mentang mahar untuk menikah cuma seperangkat alat shalat dibayar tunai
sudah sah, terus kita tidak perlu jadi orang kaya.
Jika dirunut dari sejarah, Muhammad ketika masih remaja adalah seorang
pekerja keras dan sudah termasuk sebagai pemuda kaya. Oleh karena kejujuran dan
kesuksesannya dalam berbisnis, maka Khadijah, seorang janda yang kaya dan juga seorang pedagang tertarik terhadap kepribadian Muhammad. Wanita miliarder itu lalu mengangkat Muhammad sebagai mitranya untuk dipercaya mengelola bisnisnya,
dan akhirnya mereka pun menikah.
Selain Nabi Saw, ada juga sahabat yang kaya raya. Umar bin Khattab mewariskan 70 ribu
properti sepanjang wilayah Aris dan Khaibar senilai trilyunan rupiah. Masih kurang lagi, alasan harus kaya. Dulu, Islam dibawa ke Indonesia
oleh para pedagang Gujarat dari India yang kaya, sebab kalau tidak kaya mana bisa jalan-jalan ke luar negeri. Di Indonesia,
pimpinan Wali Songo, Maulana Maghribi dan pendiri NU serta Muhammadiyah adalah orang-orang kaya. Lha, katanya kita harus meneladani
para pemimpin, berarti kita juga harus kaya dong.
Rasulullah Saw. dan para sahabatnya telah memberi contoh bahwa mereka
tidak menghindar dari kekayaan. Mereka bekerja keras untuk menjemput
rezeki dan hasil akhir dari upaya itu disandarkan kepada Allah. Sebab Allah jua yang berhak memberikan rezeki atas jerih payah mereka.
Kaya yang Bermanfaat
“Tangan di atas lebih baik daripada
tangan di bawah.” Ini adalah hadist Rasul. Sekarang coba mulai
bertanya kepada diri sendiri: Dalam hidup ini, sukakah jika kita sebagai
golongan tangan di bawah? Tentu tidak. Tangan di bawah artinya, seseorang yang
senantiasa mengharap bantuan orang lain. Dalam hidup ini, pasti kita ingin
lebih terhormat, dengan menjadi tangan di atas. Artinya menjadi manusia yang suka memberi pertolongan
kepada orang lain. Bukankah hidup akan berarti apabila kita dapat memberikan sesuatu yang terbaik
kepada sesama.
Sepanjang kita bicara untuk kepentingan umat, maka kekayaan itu akan
mengantarkan kepada kebahagiaan yang sebenarnya. Karena hidup kita bisa
memberikan manfaat untuk orang lain, maka umur kita akan dipanjangkan Allah. Maksudnya dipanjangkan adalah karena amal kita, maka nama kita akan
dikenang sepanjang masa. Kaya dapat menjadikan seseorang mulia jika mempunyai akhlak yang baik, tawadhu’ (tidak sombong), gemar memberi kepada orang lain. Kekayaan yang demikian akan membuat
kita dimuliakan sesama manusia maupun dimuliakan Allah Swt. Berarti
kaya merupakan sarana (jalan) untuk memudahkan kita menempuh kesempurnaan dalam
beribadah.
Dari kenyataan itu, bukan sesuatu yang tidak wajar bila tokoh-tokoh Islam
menyerukan bahwa dunia Islam harus kaya, orang-orang Islam atau kaum muslim
harus kaya. Tidak sekedar kaya karena negerinya diberkahi kekayaan alam yang
luar biasa, tetapi kaum muslim juga bisa menjadi kaya karena bekerja keras dan
cerdas. Sekarang ini kesannya tidak demikian. Negeri-negeri Islam di Jazirah
Arab memang kaya alamnya, tetapi yang mengelola orang-orang asing. Demikian
juga di Indonesia, sumber alamnya banyak dieksploitasi oleh
perusahaan-perusahaan asing.
Dengan kekayaan kita bisa mengulurkan tangan dan membantu sesama lebih
banyak lagi. Kita akan leluasa bersedekah dan melakukan aktivitas sosial
semisal mengentaskan kemiskinan anak yatim, mendirikan panti-panti, menyumbang
pembangunan rumah ibadah dan sarana pendidikan, berangkat haji, dan lain-lain.
Jika tidak kaya, dari manakah dana untuk keperluan itu? Karenanya, orang Islam harus kaya!
Satu diantara orang kaya yang dermawan jaman
sekarang adalah Sulaiman Ar Rajhi , pemilik bank Ar Rajhi di Arab Saudi. Bank
Ar Rajhi merupakan bank syariah yang memiliki lebih dari 600 cabang di dunia
dengan aset mencapai $88 miliar US. Sulaiman Ar Rajhi yakin bahwa untuk meraih
kesuksesan, maka seseorang harus menjalankan bisnis. Selain perbankan, ia juga
memiliki kebun kurma terbesar di dunia seluas 5000 hektar yang ditumbuhi
sekitar 200 ribu pohon kurma.
Kekayaan
pribadi Sulaiman Ar Rajhi sebanyak $ 7,7 miliar US dan sebagian besar
disumbangkan ke lembaga amal untuk keperluan pendidikan dan kesejahteraan
masyarakat di negara Arab. Selain menyumbangkan hartanya untuk amal. Sulaiman
Al Rajhi juga membangun sebuah kampus bernama Sulaiman Al Rajhi University di
tanah kelahirannya. Universitas ini digratiskan bagi masyarakat miskin yang
ingin belajar tentang kesehatan dan perbankan Islam yang dewasa ini mulai
merambah negara-negara di kawasan Eropa.
Kebun
kurma milik Sulaiman Ar Rajhi juga diwakafkan untuk kepentingan Islam. Hasil
panennya dibagikan kepada lembaga-lembaga amal dan Haramain yaitu Masjidil
Haram dan Masjid Nabawi dimana setiap Bulan Ramadhan, kurma tersebut disajikan untuk
menu buka bersama. Kebun Kurma ini tercatat sebagai wakaf terbesar di dunia. Selain
itu Suilaman Ar Rajhi juga membangun masjid yang cukup megah dan besar di
jantung Kota Riyadh yang bisa menampung 18.000 jama’ah. Inilah contoh bagaimana
kekayaan ini digunakan untuk kemanfaatan sebanyak-banyakmya umat sehingga
memberikan keberkahan.
-o0o-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar