Rabu, 23 Mei 2018

Revitalisasi Nilai Pancasila di Era Mileneal


Revitalisasi Nilai Pancasila di Era Mileneal


Jaman saya sekolah dulu, dari SD hingga kuliah mendapat “siraman kebangsaan” yang berjudul Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Program yang digulirkan oleh rezim Orde baru dibawah payung BP7 ini setiap tahun dilaksanakan untuk siswa baru di sekolah. Gnerasi yang masa pendidikan sekolahnya antara 1980-an hingga awal 1990-an masih sempat merasakan penanaman doktrin Pancasila. Apalagi waktu itu ada pelajaran Pendidikan Moral Pancasila selama 2 jam setiap minggu di setiap kelas. Bisa dikatakan, dulu tak ada orang yang tak hafal Pancasila, atau ada anekdot yang mengatakan hanya orang aneh yang tak hafal Pancasila.  Selain Penataran P4 untuk siswa baru, juga ada cerdas cermat P4 di layar kaca dan Forum Negara Pancasila di corong RRI. Pemerintah pun secara masif menggerakan penanaman Pancasila hingga ke desa-desa.
            Namun Era Reformasi 1998, telah mengubah paradigma bangsa. Ditambah globalisasi yang mencengkeram dunia. Semua paham yang ada di belahan dunia manapun dapat diakses dengan mudah oleh anak bangsa melalui saluran internet. Tak ada sekat lagi antar bangsa. Akibatnya paham-paham luar yang berbau liberal, radikal dan yang tak sesuai dengan nilai Pancasila masuk ke setiap dinding rumah masyarakat yang tanpa sekat.
            Nilai-nilai karakter Pancasila yang ditanamkan pada generasi jaman old dan menjadi filter bagi pengaruh ideolog lain sudah tak ada lagi. Harapan penanaman karakter bangsa kini hanya bertumpu pada pendidikan PKN di sekolah. Namun tumpuan tersebut terlalu lemah untuk menggembleng karakter bangsa yang berjiwa Pancasila. Faktanya paham dan ideologi luar ternyata mampu mempengaruhi karakter anak muda ditengah terpinggirkannya Pancasila.
            Kini, jika ditanya tentang bunyi sila-sila dalam Pancasila, tidak semua orang hafal. Bahkan sebuah cletukan megatakan anak-anak jaman now lebih hafal mars lagu sebuah partai politik tertentu ketimbang 5 sila Pancasila. Sesuatu yang sangat ironis. Apalagi masih banyak orang yang salah menyampaikan isi Pancasila. Untuk mengamalkan nilai Pancasila tentu kita harus hafal dulu isinya, harus menghayati maknanya dan mengerti kandungan nilanya baru mengamalkannya.

Dekadensi Pancasila
Disadari atau tidak, ideologi Pancasila mulai tergerus terutama di kalangan generasi mileneal. Sejak bergulirnya era reformasi 1999, maka Pancasila kehilangan arah. Hampir semua orang tahu apa itu Pancasila, tetapi tidak semua tahu apa saja nilai-nilai di dalamnya. Apalagi pengamalannya, jauh panggang dari api.
            Jujur dengan derasnya arus globalisasi tahun 2000an, generasi muda  lebih terpengaruh paham luar yang masuk ke bumi pertiwi ketimbang nilai-nilai Pancasila, yang dianggap terlalu tua. Ada 3 alasan kenapa Pancasila tidak diminati oleh anak muda?
            Pertama, sejak era reformasi, Pancasila dianggap sebagai simbol era Orde Baru yang  ikut dikubur bersama dengan tumbangnya rezim Suharto. Terbukti dengan dicabutnya Tap MPR mengenai Pancasila sebagai satu-satunya azas  serta dibubarkannya BP7.          Sehingga stigma   Pancasila menjadi tercoreng atas ‘dosa-dosa’ rezim Orde Baru yang penuh dengan nuansa KKN. Disamping itu pola-pola doktrinir yang dilakukan oleh  BP7 dalam pelaksanaan sosialisasi Pancasila dalam penataran P4 tidak sesuai dengan nuansa jaman. Apalagi terjadinya inkonsistensi para pemimpin saat itu dimana di satu sisi ingin menerapkan Pancasila secara murni dan konsekuen namun disisi lain melanggar Pancasila dengan perilaku yang menyimpang misalnya korupsi dan sebagainya.
            Kedua, Kurangnya kepedulian pemerintah era Reformasi. Dari pemerintahan Presiden Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY hingga sekarang Jokowi belum ada terobosan berarti untuk menggalakkan lagi nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Terlihat para pemimpin masih gamang dan canggung untuk mengambil langkah strategis untuk mengintensifkan penanaman nilai Pancasila. Mereka masih trauma dengan akibat masa kelam orde Baru yang menjerumuskan Pancasila hingga ke dasarnya.
            Ketiga, masuknya idelogi luar. Paham dari luar lebih menggoda dan menggiurkan generasi muda daripada paham miliknya sendiri. Istilah kata, rumput tetangga terlihat lebih hijau. Apalagi akses media yang terbuka lebar termasuk media sosial sehingga  anak muda dapat mengamati perkembangan ideologi yang ada di dunia. Dan mereka akan memilih sesuatu yang lebih menguntungkan bagi dirinya. Nuansa jaman era Reformasi ditambah derasnya arus globalisasi membuat generasi muda semakin kritis dalam bersikap. Paradigma lama yang dianggap kuno dan tidak relevan akan tersingkirkan dengan pemikiran baru yang lebih kreatif dan modern.
Perubahan Perilaku Generasi Mileneal
Perilaku yang saat ini mengental pada diri pemuda mileneal adalah minimnya daya juang karena semua fasilitas sudah disediakan oleh perkembangan teknologi. Semua informasi bisa didapatkan secara gratis melalui situs-situs online. Bahkan kemudahan itu semakin menyederhanakan pola hidup generasi milenela pada standar yang lebih praktis, mudah dan hemat.
            Dalam cara bersosial media pun, generasi mileneal sudah masuk pada pemahaman-pemahaman yang diyakini menurutnya benar dalam berpolitik dan berbudaya. Bahkan pengaruh ideologi luar yang tidak cocok dengan ideologi bangsa juga mendapat tempat di hati generasi. Budaya selfie, pamer, menyebarkan berita, share atau viral dilakukan secara jamak. Terkadang berita itu belum tentu kebenarannya, tapi karena memiliki pemahaman yang sama maka tetap diviralkan yang akhirnya berujung hoax. Perubahan perilaku ini akan membentuk mental generasi muda ke depan jika kelak mereka menjadi pemimpin bangsa atau duduk di posisi strategis di pemerintahan.
            Pada generasi mileneal, perkembangan situasi nasional cukup memprihatinkan dengan banyaknya permasalahan yang muncul secara bergantian di seluruh sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dampak demokratisasi yang tidak terkendali dan tidak didasari dengan pemahaman nilai-nilai Pancasila telah memunculkan sikap individualistis yang sangat jauh berbeda dengan nilai-nilai Pancasila yang lebih mementingkan keseimbangan, kerjasama, saling menghormati, kesamaan, dan kesederajatan dalam hubungan manusia dengan manusia.

Revitalisasi Pancasila
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang lahir karena kemajemukan dan perbedaan yang dipersatukan oleh kesadaran kolektif untuk hidup sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Perjuangan panjang bangsa untuk bersatu, diwarnai oleh kepahitan dan perjuangan fisik yang panjang dari generasi pendahulu bangsa untuk merdeka. Bukan merupakan hal yang mudah bagi para pendiri negara (founding fathers) menyepakati Pancasila, yang merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur bangsa, dan menetapkannyasebagai dasar negara.
            Sebagai Dasar Negara, Pancasila merupakan ideologi, pandangan dan falsafah hidup yang harus dipedomani bangsa indonesia dalam proses penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam mewujudkan cita-cita proklamasi kemerdekaan. Nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya merupakan nilai-nilai luhur yang digali dari budaya bangsa dan memiliki nilai dasar yang diakui secara universal.
            Namun, kini apa yang telah diperjuangkan para pendiri dan pendahulu bangsa tengah menghadapi batu ujian keberlangsungannya. Globalisasi dan euphoria reformasi yang sarat dengan semangat perubahan, telah mempengaruhi pola pikir, pola sikap dan pola tindak generasi penerus bangsa dalam menyikapi berbagai permasalahan kebangsaan. Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk menyadarkan nilai Pancasila pada generasi muda yakni:

1.      Pancasila bukan Produk Orde Baru
Pancaila lahir dari inisiatif para pendiri bangsa pada 1 Juni 1-45, sedangkan Orde Baru berkuasa pada tahun 1966. Jelas Pancasila bukan produk Orde Baru. Kehadiran Orde baru  dengan jargon mengamalkan Pancasila secara murni dan konsekuen justru menjadi bumerang. Karena Pancasila sebagai nilai luhur bangsa, telah disalahgunakan oleh rezim Orde Baru yang justru malah melanggar Pancasila dengan praktek Korupis, Kolusi dan Nepotismenya.

2.      Pendirian Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BP-PIP).
Kehadiran BP-PIP pada masa Presiden Jokowi merupakan sebuah terobosan untuk membentuk sebuah lembaga yang fokus mengelola pembinaan ideologi Pancasila. BP-PIP berbeda dengan BP7 jaman orde Baru, karena jejaring BP7 tersebar hingga ke tingkat kabupaten. Sedangkan BP-PIP hanya bertugas menggodok konsep yang akan dijalankan oleh berbagai lembaga. BP-PIP tidak mengambil kewenangan lembaga-lembaga yang sudah ada tapi justru memberi arah agar program Pancasila dan wawasan kebangsaan yang sudah dijalankan tidak overlapping, tidak hanya di permukaan tapi lebih sistematis dan terstruktur.

3.      Masuknya Ideologi Luar
Perlunya pemahaman kepada generasi mileneal bahwa ideologi Pancasila adalah ideologi yang terbaik dan tepat diterapkan di bumi nusantara yang heterogen. Ideologi  di luar yang kelihatannya menarik belum tentu cocok diterapkan di Indonesia karena faktor latar belakang budaya dan keberagaman yang berbeda. Ideologi Pancasila adalah ideologi yang menyatukan kebhinnekaan bangsa. Pancasila sebagai pemersatu kemajemukan bangsa.
            Pancasila merupakan ideologi yang cocok bagi bangsa Indonesia. Dalam sila pertama, Ketuhanan telah menjawab permasalahan keyakinan bangsa Indonesia terhadap yang Maha Pencipta. Pada dasarnya semua bangsa di dunia, memiliki latar belakang sejarah, budaya dan peradaban yang dijiwai oleh nilai-nilai moral keagamaan (theisme-religious) maupun nilai nonreligious (sekular, atheisme). Intinya, setiap bangsa senantiasa menegakkan nilai-nilai peradabannya dengan dijiwai, dilandasi dan dipandu oleh nilai-nilai religious atau non-religious. Demikian pula halnya dengan bangsa Indonesia yang majemuk dan multikultur, telah hidup dengan hidup keagamaan yang kuat sebagai landasan moral dalam kehidupan ketaanegaraannya.
            Selanjutnya, sila kedua Pancasila, merupakan bentuk kesadaran bahwa bangsa Indonesia sejak dulu telah menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sesuai budaya bangsa yang beragam. Dalam budaya bangsa, manusia senantiasa ditempatkan dan diperlakukan sesuai dengan kodrat sebagai mahluk ciptaan Tuhan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai seni budaya bangsa yang mengagungkan manusia sesuai dengan kultur dan budaya yang beragam.
            Menyadari keragaman dan pluralitas yang dimiliki bangsa dan belajar dari pengalaman masa penjajahan, maka sila ketiga, persatuan bangsa Indonesia menjadi pedoman hidup bangsa Indonesia yang majemuk. Justru dengan kemajemukan yang dimiliki, bangsa Indonesia memiliki kekayaan budaya yang sangat banyak di dunia. Prinsip persatuan indonesia bukan berarti menghilangkan eksistensi, ciri dan identitas masing-masing suku bangsa. Eksistensi, ciri dan identitas masing-masing suku bangsa tetap terpelihara dan terjaga keberadaannya.
            Sila keempat sebagai bentuk kesadaran dan pengejawantahan prinsip-prinsip kehidupan kelembagaan yang didasarkan pada perilaku kehidupan gotong-royong yang telah mengakar dalam kehidupan bangsa Indonesia sejak dulu. Sifat kegotongroyongan dan musyawarah mufakat telah menjadi pilar kehidupan dalam kehidupan bermasyarakat secara turun temurun. Mengingat tantangan sebagai bangsa yang majemuk dan pentingnya persatuan bangsa, maka prinsip-prinsip kelembagaan yang didasarkan pada musyawarah untuk mufakat merupakan tuntunan bagi bangsa Indonesia dalam menjalankan kehidupan kelembagaan negara yang menentukan masa depan bangsa yang berkeadilan. Dengan demikian prinsip-prinsip sila kelima, keadilan merupakan kristalisasi keinginan dan cita-cita bangsa untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur.


Komitmen Generasi Muda
Bukan suatu hal bagi generasi penerus untuk mempertahankan komitmen para pendiri bangsa dalam memperjuangkan nilai-nilai luhur Pancasila. Dinamika perkembangan lingkungan strategis, baik global, regional maupun nasional setiap jaman dan era kepemimpinan, sangat mempengaruhi tumbuh kembangnya pola pikir, pola sikap dan pola tindak generasi penerus dalam menyikapi berbagai permasalahan mendasar yang dihadapi bangsa.
            Generasi muda adalah generasi terbaik bangsa, yang harus mampu berprestasi mengharumkan nama Indonesia di kancah nasional atau bahkan internasional. Pemuda harus mengisi waktunya dengan terus berkarya sebagai bentuk bahwa Indonesia adalah negara yang kuat dan berdaya. Generasi muda harus mampu menciptakan produk asli Indonesia dalam segala bidang sehingga tidak ada barang impor di negeri ini. Gerakan beli produk beli  barang produksi Indonesia menjadi alternatif mengatasi krisis karena membuat bangsa menjadi kuat dan mandiri sehingga tidak bergantung dari impor, dimana akan memakai mata uang asing. 
            Tantangan terbesar generasi penerus saat ini adalah kemajuan teknologi informasi yang sangat cepat. Kemajuan teknologi informasi telah merubah hubungan antar negara dan pola hubungan antar manusia. Kehadiran internet dan teknologi komunikasi ikutan lainnya, memungkinkan manusia berhubungan dan berkomunikasi setiap saat dan tanpa batas. al ini dapat memberikan kontribusi positif bagi proses pembangunan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Namun disisi lain, teknologi informasi dapat digunakan sebagai sarana melemahkan ketahanan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan suatu negara.  
            Semua dampak euphoria reformasi yang kita hadapi saat ini, perlu disikapi oleh segenap komponen bangsa melalui pemahaman yang benar, utuh dan menyeluruh dalam konteks semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Semangat tersebut merupakan kata kunci dari aktualisasi dan implementasi nilai-nilai luhur Pancasila yang harus terus ditumbuh kembangkan oleh generasi penerus.
            Seluruh komponen bangsa harus mampu menyikapi berbagai permasalahan, perbedaan dan kemajemukan dengan berpedoman pada empat pilar wawasan kebangsaan yang dibangun oleh para pendiri bangsa. Seluruh anak bangsa harus proaktif untuk menciptakan, membina, mengembangkan dan memantapkan persatuan dankesatuan bangsa yang kerap menghadapi potensi perpecahan. Generasi penerus harus mampu menghidupkan kembali sikap dan budaya gotong royong, silahturahmi dan musyawarah untuk mufakat yang hakikinya merupakan ciri bangsa Indonesia sejak dulu. Pemuda harus mampu mempelopori untuk memahami, menghayati dan mengimplementasikan nilai – nilai Kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai daya tangkal terhadap berbagai potensi yang mengancam keutuhan NKRI.
####


Tidak ada komentar:

Posting Komentar