Kamis, 25 Mei 2017

Ibadah Puasa sebagai Pancaran Nilai Pancasila

 

Pemerintah akan menetapkan awal puasa 1 Ramadan 1438 H malam hari ini. Sebagai Negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, umat Islam di Indonesia menyambut dengan suka ria. Puasa sebagai salah satu ibadah wajib umat Islam merupakan pancaran nilai pada sila pertama Pancasila.
Sejak tahun 2015, dua ormas terbesar di Indonesia yakni Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah memulai puasa ada hari yang sama. Meski pun berbeda dalam cara menetapkan 1 Ramadan, namun patut disyukuri karena mayoritas muslim di Indonesia melaksanakan puasa pada hari yang sama. Hal ini merupakan bentuk ukhuwah islamiyah untuk menjaga persatuan umat dan kesatuan bangsa.
Bulan Ramadhan 1436 Hjriah telah tiba. Tentu saja ini sebuah kesempatan istimewa, karena bukan saja bilangan umur kita kian bertambah, tapi juga belaian kasih Ar-Rahmaan akan menghampiri kita lagi. Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan rahmat dan keberkahan.
Bangsa Indonesia yang 80% lebih menganut agama Islam akan dengan suka cita menyambut bulan yang penuh hikmah itu. Puasa merupakan perintah dalam rukun Islam ke 4 yang wajib hukumnya bagi kaum muslim. Dengan puasa berarti meningkatkan ketakwaan umat kepada sang Khalik. Puasa memiliki makna alam dimensi horizontal sebagai pengabdian kepada Tuhan dan dimensi vertical untuk menyelami kehidupan untuk berbagi pada sesama.
Di Indonesia gebyar Ramadhan sudah terasa jauh hari sebelum puasa tiba. Tentu puasa sebagai bentuk pelaksanaan ajaran agama sangat sesuai dengan Pancasila. Sesuai dengan sila pertama Pancasila, ibadah bulan Ramadhan merupakan salah satu amalan seorang muslim yang selaras. Pancasila dan UUD 1945 memerintahkan agar setiap pemeluk agama memegang teguh agama dan melaksanakan sesuai dengan ajarannya. Peningkatan keimanan melalui Puasa Ramadhan merupakan cermin  seorang pribadi yang bermoral Pancasila .
Nilai Puasa
Puasa seyogyanya mampu memupuk rasa solidaritas dan empati kita kepada masyarakat yang tidak punya atau tak berkecukupan. Bagi mereka rasa lapar yang muncul pada bulan Ramadan ini adalah merupakan keseharian yang mereka hadapi dalam 11 bulan sebelumnya. Karena hidup mereka memang berada pada garis kemiskinan atau bahkan dibawah garis kemiskinan. Dengan demikian, penderitaan yang dirasakan bersama mestinya melahirkan kekuatan untuk bersatu bagi bangsa ini, bukan nafsu memperkaya pundi-pundi pribadi apa pun dan bagaimanapun caranya.
Bukankah sejarah sudah menunjukkan solidaritas untuk bangkit dan maju telah membuat bangsa ini keluar dari ketertindasan? Solidaritas pula yang membuat perbedaan suku dan agama kala itu terajut menjadi anyaman yang justru indah. Karena itu, alangkah malangnya bangsa yang religius ini jika kesempatan untuk merefleksi diri lewat Ramadan itu menguap begitu saja. Kalau selepas puasa kali ini pun kita masih belum naik derajat ke hidup yang baik, boleh jadi puasa yang kita jalani memang hanya menghasilkan haus dan lapar sebagaimana dikhawatirkan oleh Rasulullah Muhammad SAW.
Untuk itu, mari kita membumikan ajaran dan hikmah apa yang terkandung dibalik perintah dari ibadah puasa ini untuk kita terapkan pada 11 bulan-bulan berikutnya. Training 1 bulan penuh ini, diharapkan bisa membekali kita untuk melangkah jauh ke depan serta menghiasi jejak langkah perilaku kita dalam menuju perubahan yang nyata.  Karena pada dasarnya, puasa bukan hanya untuk menahan lapar dan dahaga di siang hari.  Tapi diharapkan kita menjadi manusia yang bertaqwa yang terwujud dalam kehidupan kita sehari-hari. Tanpa ada perubahan yang nyata dalam diri kita, maka puasa nyaris tak bermakna dan tidak berbekas. Semoga. 
( Dudun Parwanto dari berbagai sumber)

 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar