Inilah wajagh Islam yang tercantum dalam setiap sila dalam Pancasila.
Relasi Agama
dan Nilai-nilai Pancasila
Sebagai
falsafah hidup bangsa, hakekat nilai-nilai Pancasila telah hidup dan diamalkan
oleh bangsa Indonesia sejak negara ini belum berbentuk. Artinya, rumusan
Pancasila sebagaimana tertuang dalam alinea 4 UUD 1945 sebenarnya merupakan
refleksi dari falsafah dan budaya bangsa, termasuk di dalamnya bersumber dan
terinspirasi dari nilai-nilai dan ajaran agama yang dianut bangsa Indonesia.
Islam
sebagai agama yang dipeluk secara mayoritas oleh bangsa ini tentu memiliki
relasi yang sangat kuat dengan nilai-nilai Pancasila. Hal ini dapat disimak
dari masing-masing sila yang terdapat pada Pancasila berikut ini:
Sila
pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ketuhanan
adalah prinsip semua agama. Dan prinsip keesaan Tuhan merupakan inti ajaran
Islam, yang dikenal dengan konsep tauhid. Dalam Islam tauhid harus diyakini
secara kaffah (totalitas), sehingga tauhid tidak hanya berwujud pengakuan dan
pernyataan saja. Akan tetapi, harus dibuktikan dengan tindakan nyata, seperti
melaksanakan kewajiban-kewajiban agama, baik dalam konteks hubungan vertikal
kepada Allah (ubudiyyah) maupun hubungan horisontal dengan sesama manusia dan
semua makhluk (hablun minan nas).
Totalitas
makna tauhid itulah kemudian dikenal dengan konsep tauhid
ar-rububiyyah, tauhid al-uluhiyyahdan tauhid al-asma wa al-sifat.
Tauhid Rububiyyah adalah pengakuan, keyakinan dan pernyataan bahwa Allah adalah
satu-satunya pencipta, pengatur dan penjaga alam semesta ini. Sedangkan tauhid
al-Uluhiyyah adalah keyakinan akan keesaan Allah dalam pelaksanaan ibadah,
yakni hanya Allah yang berhak diibadahi dengan cara-cara yang ditentukan oleh
Allah (dan Rasul-Nya) baik dengan ketentuan rinci, sehingga manusia tinggal
melaksanakannya maupun dengan ketentuan garis besar yang memberi ruang
kreativitas manusia seperti ibadah dalam kegiatan sosial-budaya, sosial
ekonomi, politik kenegaraan dan seterusnya, disertai dengan akhlak (etika) yang
mulia sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah. Adapun tauhid al-asma wa
al-sifat adalah bahwa dalam memahami nama-nama dan sifat Allah seorang
muslim hendaknya hanya mengacu kepada sumber ajaran Islam, Quran-Sunnah.
Melihat
paparan di atas pengamalan sila pertama sejalan bahkan menjadi kokoh dengan
pengamalan tauhid dalam ajaran Islam. Inilah, yang menjadi pertimbangan Ki
Bagus Hadikusumo, ketika ada usulan yang kuat untuk menghapus 7 kata “dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”, mengusulkan kata
pengganti dengan “Yang Maha Esa”. Dalam pandangan beliau Ketuhanan Yang Maha
Esa adalah tauhid bagi umat Islam. (Endang Saifuddin, 1981: 41-44)
Sila
kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Prinsip
kemanusiaan dengan keadilan dan keadaban adalah juga menjadi ajaran setiap
agama yang diakui oleh negara Indonesia, termasuk Islam. Dalam ajaran Islam,
prinsip ini merupakan manifestasi dan pengamalan dari ajaran
tauhid. Muwahhidun (orang yang bertauhid) wajib memiliki jiwa
kemanusiaan yang tinggi dengan sikap yang adil dan berkeadaban.
Sikap adil
sangat ditekankan oleh ajaran Islam, dan sikap adil adalah dekat dengan
ketaqwaan kepada Allah sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Al Maidah ayat
8,“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil, dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku
tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan
bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”
Demikian
juga konsep beradab (berkeadaban) dengan menegakkan etika dan akhlak yang mulia
menjadi misi utama diutusnya Nabi Muhammad Saw dengan sabdanya, “Sesungguhnya
aku diutus Allah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
Sila
ketiga: Persatuan Indonesia
Ajaran Islam
memerintahkan agar umat Islam menjalin persatuan dan kesatuan antar manusia
dengan kepemimpinan dan organisasi yang kokoh dengan tujuan mengajak kepada
kebaikan (al-khair), mendorong perbuatan yang makruf, yakni segala sesuatu yang
membawa maslahat (kebaikan) bagi umat manusia dan mencegah
kemungkaran, yakni segala yang membawa madharat (bahaya dan
merugikan) bagi manusia seperti tindak kejahatan. Persatuan dan kesatuan dengan
organisasi dan kepemimpinan yang kokoh itu dapat berbentuk negara, seperti
negeri tercinta Indonesia.
Sila
keempat; Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan /perwakilan
Prinsip yang
ada pada sila keempat ini merupakan serapan dari nilai-nilai Islam yang
mengajarkan kepemimpinan yang adil, yang memperhatikan kemaslahatan rakyatnya
dan di dalam menjalan roda kepemimpinan melalui musyawarah dengan mendengarkan
berbagai pandangan untuk didapat pandangan yang terbaik bagi kehidupan bersama
dengan kemufakatan. Sistem demokrasi yang diterapkan di Indonesia dengan
mengedepan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan sebagaimana ditegaskan dalam
sila-sila dalam Pancasila sejalan dengan ajaran agama. Bahkan pengamalan agama
akan memperkokoh implementasi ideologi Pancasila.
Sila Kelima:
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Mengelola
negara dengan prinsip keadilan yang meliputi semua aspek, seperti keadilan
hukum, keadilan ekonomi, dan sebagainya, yang diikuti dengan tujuan untuk
kesejahteraan rakyat merupakan amanat setiap agama bagi para pemeluknya. Dalam
Islam di ajarkan agar pemimpin negara memperhatikan kesejahteraan rakyatnya,
dan apabila menghukum mereka hendaklah dengan hukuman yang adil. (QS. Nisa: 58)
Dalam kaidah
fikih Islam dinyatakan “al-ra’iyyatu manuthun bil maslahah”, artinya
kepemimpinan itu mengikuti (memperhatikan) kemaslahatan rakyatnya. Berarti pula
bahwa pemegang amanah kepemimpinan suatu negara wajib mengutamakan
kesejahteraan rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar