Rabu, 26 April 2017

Pidato Kenegaraan yang Menghebohkan (Parodi Presiden)

Assalamualaikum wr wb.
Alhamdulillahi robbil alamin asola tuwasala muala asrofill ambiya wal mursalin sayidina muhamadin wa alihi wa shobihi ajmain.
Yang saya hormati lembaga tinggi Negara baik yang tinggi sekali maupun tingginya dibawah rata-rata. Yang saya hormati anggota DPD jangan gaduh lagi, segera rekonsiliasi. Yang saya hormati para menteri kabinet kerja, baik yang tidak bekerja maupun yang kerjanya nyata. Yang saya hormati anggota Dewan, baik yang pernah minta saham atau yang selfi  bareng Presiden Amerika.



Yang saya hormati para gubernur, baik yang berprestasi maupun sudah ditangkap KPK. Yang saya hormati para bupati, yang masih melakukan pungli harap berhati-hati. Yang saya hormati pak Kapolri, tolong amankan NKRI dan SIM jangan dikorupsi. Yang saya hormati Panglima TNI, tunggu pensiun kalau mau nyalon jadi presiden nanti.

Yang saya muliakan Raja Salman, saya kecewa sudah mayungi tapi investasinya dibawah harapan. Yang saya muliakan Wapres Amerika, jangan ngancam dikira saya berani, Freeport sudah saya kasih ijin ekspor lagi. Yang saya cari Isyana saraswati tolong sepeda saya dikembalikan karena itu hanya properti.

Yang saya sesalkan penyiraman petugas KPK dengan air keras, semoga pelakunya ditindak tegas. Yang saya sedihkan pecahnya partai politik,  sudah pol masih diotak atik. Yang saya prihatinkan generasi muda karena banyak yang hafal lagu mars partai Perindo daripada Pancasila. Dan saya  banggakan adalah Dudun Purbakala, komika sosial media yang pernah saya undang ke Istana.
Semoga pidato saya ada manfaatnya.

Wassalamualaikum wr, wb. 

Minggu, 23 April 2017

Ternyata Peristiwa Isro Miroj bisa di LOGIKA

Kisah Isra’ Mi’raj-nya Nabi Muhammad SAW.

Sebuah kisah awal diberlakukannya syariat sholat 5 waktu, merupakan salah satu amalan yang pertama kali dihisab di akhirat nanti, yang berlaku hingga manusia akhir zaman.

”Istimewanya dimana ya?!”

Lebih dari istimewa kawan, bahkan Al-Qur’an sejak 14 abad lalu telah mengabadikan dalam surah Al-isra’ ayat 1 :

    ” Maha Penggerak Yang telah menjalankan hamba-Nya dari tempat berputar yang ditinggalkan ke tempat berputar yang di ujung yang kami beri perlindungan sekitarnya. Untuk kami lihatkan kepadanya sebagian dari ayat-ayat Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar Lagi Maha Melihat.”

  
Jadi, hanya kira-kira kurang dari 10 jam Rasulullah melakukan perjalanan Isra’ Mi’raj. Dari ayat pula dapat kita perkirakan kecepatan Malaikat sekitar 50 x C { 50 kali kecepatan cahaya}. Sehingga malaikat Jibril tidak mampu untuk mangantar Rasulullah hingga ke langit ke-7.

          Mari kita bertamasya dengan Matematika dalam usaha menerjemahkan fenomena kebesaran Allah pada peristiwa Isra’ Mi’raj:
            Peristiwa ini menggambarkan bahwa alam semesta ini terdiri dari 7 lapis langit, ”ujung” dari 7 lapis langit sendiri masih menjadi misteri ilmu pengetahuan hingga detik ini. Namun Jika dalam Agama di Atas Langit ke 7 adalah Kerajaan Allah SWT.

Berdasar data bahwa kecepatan cahaya = 299.279,5 Km/det, dapat kita ketahui :
I.                    Langit lapis 1 (Merupakan sistem Tata Surya) dimana diamater tata surya sekitar 0.005 tahun cahaya. Jadi, dengan kecepatannya, cahaya membutuhkan waktu 0.005 tahun untuk berangkat dari matahari hingga ujung tata surya (planet Sedna).
II.                 Langit lapis 2 (kumpulan dari Tata Surya, disebut Galaksi, sekitar 100 milyar bintang/matahari) dengan jari-jari = 100.000 tahun cahaya
III.               Langit lapis 3 (kumpulan dari milyaran galaksi, disebut Nebula) : jari-jari sekitar 50x1.014.000.000.000.000 tahun cahaya.
IV.              Langit lapis 4 (Kumpulan Nebula) jari-jari 50x1.025.000.000.000.000   tahun cahaya.
V.                 Langit lapis 5 (Kumpulan dari Kumpulan Nebula, Grup Nebula) jari-jari 50x1.036.000.000.000.000 tahun cahaya.
VI.              Langit lapis 6 (Kumpulan Grup Nebula, Guci) jari-jari 50x1.047.000.000.000.000  tahun cahaya.
Dan terakhir
VII.            Langit lapis 7 (alam semesta) jari-jari sekitar 50x1.058.000.000.000.000 tahun cahaya !!!

 Jadi, seberkas cahaya membutuhkan waktu selama :
500.000. 000. 000. 000. 000. 000. 000. 000. 000. 000. 000. 000. 000. 000. 000. 000. 000. 000. 000. 000 tahun cahaya untuk menuju langit ke 7 dari bumi.

Sedangkan malaikat membutuhkan waktu selama:
10. 000. 000. 000. 000. 000. 000.000. 000. 000. 000. 000. 000. 000. 000. 000. 000. 000. 000. tahun cahaya !
 Misal, perjalanan yang dilakukan bolak balik (berarti harus dikali 2), tetapi kalau dari langit ke-2 ke langit-7 harus bolak balik sebanyak 10 kali,maka :

Misal = jarak : J dan jarak bumi ke langit ke-2 : b
Didapat Jarak Semesta (S) : (J-b) x 10 + 2 b = 10 J – 10b + 2b = 10J – 8b.
 Ok, sekarang kita masukkan S dengan angka-angka lama waktu cahaya merambat :
 10 J = 5. 000. 000. 000. 000. 000. 000. 000. 000. 000. 000. 000. 000. 000. 000. 000. 000.000. 000. 000. 000 tahun cahaya
b = 50.000 tahun cahaya, maka 8b = 400.000 tahun cahaya.

So, S = 10J - 8b
          = 5. 000. 000. 000. 000. 000. 000. 000. 000. 000. 000. 000. 000. 000. 000. 000. 000.000. 000. 000. 000 - 400.000 ) tahun Cahaya..!

Dengan kecepatan (V) = S/t , dimana asumsi lama perjalanan Rasulullah dari jam 7 malam sampai jam 5 pagi = 10 jam = t

Subhanallah...benar-benar di luar jangkauan akal manusia...kita tak dapat membayangkan kecepatan macam apa itu kecuali yang Maha Penggerak yang melakukan itu semua.



Pertanyaan Besar :
 Dengan kecepatan maha dahsyat itu, terdapat kemungkinan Rasulullah mengalami fenomena sesak nafas ataupun punggung terasa berat ketika dalam perjalanan. Bagaimana Al Qur’an menjawabnya ?

  Sebelum menjawab dgn ayat, ada sebuah analogi dalam menjawab persoalan ini:
             Andaikan rata-rata manusia mampu menahan nafas selama 29 detik. Misal si Fulan melewati terowongan hampa udara dengan kecepatan V1, dimana harus manahan nafas selama 30 detik. Maka, Fulan mengalami sesak nafas selama 1 detik.
            Sekarang, kecepatan si Fulan ditambah menjadi V2, dimana dengan kecepatan V2 si Fulan hanya perlu menahan nafas selama 29 detik. Artinya, si Fulan akan bilang ’pas” tidak mengalami sesak nafas, sesuai dengan kemampuan menahan nafas selama 29 detik.

            Kalau kecepatan V2 ditambah lagi menjadi V3, dimana Fulan hanya perlu menahan nafas selama 1 detik. Bisa dibilang bahwa Fulan tidak menahan nafas karena 1 detik ekuivalen dengan kecepatan jantung.

            Ok, bagaimana kecepatan dari V3 ditambah lagi menjadi Vx (infinity) ?

Dimana Fulan hanya membutuhkan waktu melewati terowongan selama sepersekian milyar detik.
Kalo jantung bisa ngomong, ”Ane belom berdenyut ente udah sampe


 Senada dalam Al-Qur’an, dalam surah Al Insyirah ayat 1,2, dan 3 :

  1. Bukankah Kami telah lapangkan bagimu dadamu (waktu Isra’)
  2. Dan Kami telah turunkan bebanmu darimu (ketika mi’raj)
  3. Yang memberatkan punggungmu?

Terjawab khan?!
 Jadi, ”siapa dan apa” yang mampu menggerakkan manusia dalam sebuah velositas dengan akselerasi tak terbatas hingga menjadi sebuah energi eksitasi yang mampu mentranslasikan dalam orde yang tak hingga, hanya Allah-lah Sang Maha Penggerak = SUBHAANA.
 Subhanallah ya, betapa terbatasnya akal manusia dalam menerjemahkan kekuasaan Allah, untuk satu fenomena ini, kita belum (dan mungkin tidak akan) mampu menjawab dimana ’arsy Allah dan bagaimana Tujuh lapis langit itu sebenarnya. Untuk ke arah sana, itu sudah di luar kemampuan manusia. Wallahu’alam
    
Reflection :

  1. Demi bintang ketika berkeinginan
  2. Tidak sesat sahabat kamu (Muhammad) dan tidak ia bodoh
  3. Tidak ia katakan dari keinginannya.
  4. Tidak dia melainkan wahyu yang diwahyukan
  5. Diajar dia oleh Yang Dahsyat Kuat
  6. Yang mempunyai bentuk simetris, maka kemudian ia medarat
  7. Dan dia di ufuq secara rinci
  8. Kemudian mendekat dan merapat
  9. Maka adalah dia ukuran dan busur panah atau lebih dekat

QS An-Najmu (1-9)



Ini Membuat HATI dari Para Ilmuwan Barat Yang TERKENAL dengan KEJENIUSAN-Nya Bergetar Sangat-sangat Hebat Saat Mengetahui Kejadian Isra Miraj ini....!!!!

Kang Sejo Melihat Tuhan

Bukan salah saya kalau suatu hari saya ceramah agama di depan sejumlah mahasiswa Monash yang, satu di antaranya, Islamnya menggebu. Artinya, Islam serba berbau Arab. Jenggot mesti panjang. Ceramah mesti merujuk ayat, atau Hadis. Lauk mesti halal meat. Dan, semangat mesti ditujukan buat meng-Islam-kan orang Australia. Tanpa itu semua jelas tidak Islami.


Saya pun dicap tidak Islami. Iman saya campur aduk dengan wayang. Dus, kalau pakai kaca mata Geertz, seislam-islamnya saya, saya ini masih Hindu. Memang salah saya, sebab ketika itu saya main ibarat: Gatutkaca itu sufi. Ia satria-pandita. Tiap saat seperti tidur, padahal berzikir qolbi. Jasad di bumi, roh menemui Tuhan. Ini turu lali, mripat turu, ati tangi: mata tidur hati melek, seperti olah batin dalam dunia kaum sufi.
Biar masih muda, hidup Gatutkaca seimbang, satu kaki di dunia satu lagi di akhirat. Mirip Nabi Daud: hari ini puasa, sehari esoknya berbuka. Dan saya pun dibabat ...
Juli tahun lalu saya dijuluki Gus Dur sebagai orang yang doanya pendek. Bukan harfiah cuma berdoa sebentar. Maksudnya, tak banyak doa yang saya hafal. Namun, yang tak banyak itu saya amalkan.
"Dan itu betul. Artinya, banyak ilmu ndak diamalkan buat apa?" kata Pak Kiai sambil bergolek-golek di Hotel Sriwedari, Yogya. Apa yang lebih indah dalam hidup ini, selain amal yang memperoleh pengakuan Romo Kiai? Saya merasa hidup jadi kepenak, nikmat.
Dalam deretan Sufi, Al Adawiah disebut "raja." Wanita ini hamba yang total. Hidupnya buat cinta. Gemerlap dunia tak menarik berkat pesona lain: getaran cinta ilahi. Pernah ia berkata, "Bila Kau ingin menganugerahi aku nikmat duniawi, berikan itu pada musuh-musuh-Mu. Dan bila ingin Kau limpahkan padaku nikmat surgawi, berikanlah pada sahabat-sahabat-Mu. Bagiku, Kau cukup."
Ini tentu berkat ke-"raja"-annya. Lumrah. Lain bila itu terjadi pada Kang Sejo. Ia tukang pijit -maaf, Kang, saya sebut itu- tunanetra. Kang Sejo pendek pula doanya. Bahasa Arab ia tak tahu. Doanya bahasa Jawa: Gusti Allah ora sare (Allah tak pernah tidur): potongan ayat Kursi itu. Zikir ia kuat. Soal ruwet apa pun yang dihadapi, wiridannya satu: "Duh, Gusti, Engkau yang tak pernah tidur ..." Cuma itu.
"Memang sederhana, wong hidup ini pun dasarnya juga sederhana," katanya, sambil memijit saya.
Saya tertarik cara hidupnya. Saya belajar. Guru saya ya orang macam ini, antara lain. Rumahnya di Klender. Kantornya, panti pijat itu, di sekitar Blok M. Ketika saya tanya, apa yang dilakukannya di sela memijit, dia bilang, "Zikir Duh, Gusti ..." Di rumah, di jalan, di tempat kerja, di mana pun, doanya ya Duh, Gusti ... itu. Satu tapi jelas di tangan.
"Berapa kali Duh Gusti dalam sehari?" tanya saya.
"Tidak saya hitung."
"Lho, apa tak ada aturannya? Para santri kan dituntun kiai, baca ini sekian ribu, itu sekian ribu," kata saya
"Monggo mawon (ya, terserah saja)," jawabnya. "Tuhan memberi kita rezeki tanpa hitungan, kok. Jadi, ibadah pun tanpa hitungan."
"Sampeyan itu seperti wali, lo, Kang," saya memuji.
"Monggo mawon. Ning (tapi) wali murid." Dia lalu ketawa.
Diam-diam ia sudah naik haji. Langganan lama, seorang pejabat, mentraktirnya ke Tanah Suci tiga tahun yang lalu.
'Senang sampeyan, Kang, sudah naik haji?"
"Itu kan rezeki. Dan rezeki datang dari sumber yang tak terduga," katanya.
"Ayat menyebutkan itu, Kang."
"Monggo mawon. Saya tidak tahu."
Ketularan bau Arab, saya tanya kenapa doanya bahasa Jawa.
 "Apa Tuhan tahunya cuma bahasa Arab?"
 "Kalau sampeyan Dah Duh Gusti di bis apa penumpang lain ..."
"Dalam hati, Mas. Tak perlu diucapkan."
Ia, konon, pernah menolak zakat dari seorang tetangganya. Karena disodor-sodori, ia menyebut, "Duh, Gusti, yang tak pernah tidur ..." Pemberi zakat itu, entah bagaimana, ketakutan. Ia mengaku uang itu memang kurang halal. Ia minta maaf.
"Mengapa sampeyan tahu uang zakat itu haram"? tanya saya. 
"Rumah saya tiba-tiba panas. Panaaaas sekali."
"Kok sampeyan tahu panas itu akibat si uang haram?"
"Gusti Allah ora sare, Mas," jawabnya.
Ya, saya mengerti, Kang Sejo. Ibarat berjalan, kau telah sampai. Dalam kegelapan matamu kau telah melihatNya. Dan aku? Aku masih dalam taraf terpesona. Terus-menerus 
---------------
Mohammad Sobary, Tempo 12 Januari 1991


Sabtu, 22 April 2017

Inilah Bab 1 Novel Sacred Promise

1


1.       CINTA BERSEMI DI TAMAN HATI


Sore yang cerah ceria, matahari mulai menyingsing menuju pembaringannya. Bunga-bunga sapa tropika bertebaran tumbuh bersemi, menjadi saksi perjumpaan dua insan menjelang senja. Sepasang muda-mudi bertemu untuk membunuh waktu di tengah hijaunya rumput savana.  
                Zulfikar, pemuda dengan rambut sedikit gondrong melempar tasnya ke rerumputan. Zul, panggilan akrab wartawan berusia 27 tahun itu mendorong ayunan dimana seorang gadis jelita duduk manja diatasnya. Itulah gadis pujaan hatinya yang bernama Aisyah, atau disapa Isyah. Gadis itu duduk asyik dengan menikmati maju mundur ayunan sambil sesekali membetulkan kerudungnya. Ada peribahasa centil untuk menggambarkan dua insan berlainan jenis itu, “masa kecil kurang bahagia”, hehehe.
                Seperti biasa, setiap Sabtu sore, Zul menjemput Aisyah selepas mengajar di Madrasah Ibtidaiyah. Sebelum pulang, mereka mampir bermain sebentar di sebuah taman yang elok. Gadis berusia 24 tahun, menjerit tatkala ayunan terdorong agak kencang. Zul tertawa cekikikan. Dengan berselimut kerudung abu-abu, Aisyah tampak anggun dan balutan batik hijau, seragamnya sebagai tenaga pengajar pendidikan sekolah Islam. Perempuan lulusan Pondok pesantren Lirboyo itu sudah setahun mengajar di Madrasah Ibnu Kholdun.
                Taman Hati adalah ruang terbuka hijau yang dikelola oleh Pemda Jakarta. Pemerintah Propinsi saat ini gencar menata kembali taman-taman kota menjadi lebih asri, rapi dan cantik. Ruang terbuka hijau memberikan manfaat bagi warga, karena sering digunakan sebagai tempat olahraga, nongkrong atau sekadar menghirup udara segar di tengah pengapnya polusi yang mendera sang ibukota.
                Tak jarang Taman Hati menjadi tempat favorit bagi kawula muda yang sedang dimabuk cinta, tak terkecuali dengan Zul dan Isyah. Dalam seminggu, dua atau tiga kali mereka menyempatkan untuk singgah sejenak di Taman Hati, dan baru pulang menjelang senja. Biasanya selepas deadline majalah, Zul menjemput kekasih hatinya dengan kendaraan roda dua. Jika tidak dijemput, Aisyah menggunakan jasa ojek online untuk pulang ke rumah.
                Pada hari libur Sabtu-Minggu, biasanya banyak masyarakat yang membawa anak-anaknya bermain di taman yang luasnya 3 hektar itu. Namun hari itu, hanya beberapa keluarga yang membawa anaknya bermain di Taman yang masih segar udaranya. Mungkin karena tanggal muda, maka sebagian besar keluarga memilih jalan-jalan di pusat keramaian. Mal merupakan tempat yang nyaman dan asyik untuk berbelanja, bermain dan makan bersama. Apalagi di Jakarta, puluhan mal berdiri megah untuk menampung warga ibukota yang ingin refreshing bersama keluarga.
                Lain dengan mal, lain pula dengan pula dengan perpustakaan atau museum. Dapat dikatakan museum dan perpustakaan adalah tempat paling sepi di dunia setelah kuburan. Hehehe. Padahal untuk masuk ke museum atau perpustakaan tarifnya murah bahkan gratis. Beda dengan mal yang mesti membawa uang banyak. Dilema memang. Pepustakaan dan museum menyediakan ilmu pengetahuan secara gratis eh malah sepi, sementara mal yang minim pengetahuan dan membayar pula malah ramai, Ini membuktikan bahwa budaya masyarakat untuk investasi kepala itu lebih sedikit ketimbang di perut.
                Ya begitulah. Kalau pun ke mal, maka yang dicari Zul dan Isyah biasanya ke toko buku, setelah itu pulang. Jika harus  makan, mereka memilih ke food court karena lebih banyak pilihan dan murah ketimbang restoran yang mahal-mahal. 
***

“Ibu kemarin telepon, tanya kapan saya merit,” ujar Zul serius sambil mendorong ayunan.
Ia ingin mengatakan sesuatu tapi ditahannya sejenak.
“Terus..” balas Aisyah .
Zul menghela nafas sejenak.
“Saya sih penginnya cepet-cepet melamar Aisyah hehehe “ jawab Zul.
“Terus kenapa mas nggak ngelamar….” Aisyah balik bertanya.
                Hmmm Zul merasa tertantang, sudah satu tahun mereka saling mengenal. Meski hanya bermain di taman atau kegiatan pengajian bersama. Zul tak pernah berduaan sendiri dan selalu mengajak Isyah di keramaian. Secara umur, Zul memang sudah cukup, apalagi Isyah pun tidak banyak menuntut. Inilah pertanyaan yang ditunggunya dari Aisyah, meski sebenarnya ia belum menyiapkan jawabannya.  
“Iya nunggu modal dulu, belum ada investor hehehe “ canda Zul.
“Modal kok ditunggu…..dicari kali, nanti malah keburu diambil sama investornya hihihi…”balas Aisyah agak menggoda.  
                Zul cemberut, lalu ia mendorong ayunan kuat-kuat. Aisyah teriak sambil memegang besi ayunan dengan erat. Gadis berhidung mancung itu ketakutan.
“Ah nggak Mas…. Bercandaaa,“ ujarnya kencang.
                Pemuda berbadan tinggi itu memelankan dorongannya sambil tersenyum. Dia kemudian membisikan sesuatu.
“Insyaallah nanti dilamar, sabar yaa ….”
                Zul mendatangi Aisyah, berdiri di depannya memegang tangan gadis berkulit putih bersih itu. Aisyah tertunduk, tersipu malu, sambil melepaskan tangan pemuda berkulit sawo matang itu.
“Semua akan indah pada waktunya…” ujar Aisyah penuh harap.
                Zul tahu maksudnya, lalu mundur sejenak, mengambil sebuah majalah dari tasnya. Aisyah sepertinya sudah bisa menebak apa yang akan diberikan laki-laki jangkung itu. Ya, Majalah Reforma yang baru saja terbit. Aisyah membuka-buka isinya, membaca liputan apa yang ditulis oleh pemuda yang berhasil merebut hatinya. Tak banyak tulisan Zul yang mengisi edisi kali ini dan hampir semuanya berita yang ringan. Aisyah menatap pemuda keturunan Jawa itu.
“Dimarahin lagi sama pak Batubara?” tanya Aisyah.
Zul menggeleng.  
“Mungkin Senin nanti… “ ujar Zul.
Hari Senin adalah agenda rutin rapat redaksi mingguan majalah Reforma.
“Kenapa? ”
“Hmm entahlah…. Aku kayaknya nggak cocok jadi wartawan “ ungkap Zul bimbang.
                Laki-laki alumni Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang itu pun menceritakan keinginannya. Sebenarnya cita-citanya dulu masuk Fakultas Kedokteran, tapi sudah mencoba 2 kali ikut UMPTN, namun tidak tembus. Akhirnya namanya tercantum dalam mahasiswa baru jurusan Sejarah Undip. Beruntung Zul pada saat kuliah menjadi pengelola Koran Kampus Manunggal milik Universitas. Berbekal ilmu selama menjadi wartawan kampus itulah dia bisa melamar kerja menjadi wartawan majalah Reforma yang kini sudah dijalaninya selama 2 tahun.
“Aku ngerasa Wartawan itu seperti profesi buangan, setelah nyari pekerjaan lain nggak dapet-dapet, larinya ke wartawan…jadi kayak dubes hehehe, “ Zul curhat.
“Ah nggak juga, itu hanya perasaan Mas saja, semua profesi itu baik,” ucap Aisyah menenangkan.
“Aku mau mencari pekerjaan lain…yang lebih menjanjikan masa depan,” tegas Zul.
Aisyah menghela nafas. Bingung.
“Jalani saja apa yang ada, kalau memang bukan jalannya pasti nanti akan Allah bukakan. Tapi sebenarnya profesi wartawan juga menjanjikan kok, banyak kan wartawan yang berhasil dan masa depannya cerah,” Isyah mulai menghibur.
 “Aku merasa tidak punya sesuatu yang bisa dibanggakan di kantor. Sering gagal menembus nara sumber utama. Sementara teman seangkatanku waktu masuk, Rendi, sekarang sudah menjadi redaktur, “ Zul mulai blak-blakan.
Dari sorot matanya, Aisyah paham pemuda itu sedang galau.
“Kita hanya berusaha Mas, semua sudah ada yang ngatur. Aku yakin Mas Zul bisa kok jadi Redaktur, Mas Zul harus bisa buktikan itu …. demi karir Mas, “ nasehat Aisyah lirih.
“Bukan demi karir…demi masa depan Kita,” ucap Zul tersenyum dibalas senyuman dari bibir tipis Aisyah.
“Itulah yang aku suka dari kamu, bisa memahami dan memotivasi. Kamu ibarat bunga Cinta yang bersemi di taman Hatiku…” kata Zul.
“Ah mulai lagi deh sastrawannya  hihihi…”
                Zul mengambil sepotong bunga Matahari yang sedang berkembang. Diberikan bunga itu pada gadis di depannya. Aisyah tersipu melihat belahan hatinya yang sok romantis. Saking emosinya mereka kurang memperhatikan di sekitarnya. Beberapa anak kecil duduk diam menyaksikan sepasang merpati sedang merangkai hati. Bocah-bocah itu tertegun sambil menunggu untuk bermain ayunan. Saking fokusnya, Zul kurang memperhatikan jika mereka menjadi tontonan anak-anak. Zul menyelipkan bunga itu di jepitan pita jilbab gadis manis itu. Lalu dia mengambil HP untuk memotret gadis manis itu. Aisyah tersenyum. Jepret…
“Cantiknya kakaaak…” tiba-tiba seorang anak kecil bertubuh gendut menyahut.
                Temannya yang lain bersorak dan sebagian tepuk tangan. Sepasang muda -mudi itu bukan main terkejutnya dan merasa malu dikelilingi anak-anak. Zul dan Aisyah kikuk.
“Kak gantian dong dari tadi kami nungguin main ayunan…”ujar gadis kecil yang lugu.
                Mereka berdua segera mempersilakan anak anak itu bermain ayunan. Anak-anak itu pun langsung berebutan. Aisyah mengajak Zul pulang, malu. Mereka menunduk melewati beberapa orang yang seolah memperhatikan tindak tanduk mereka.
                Tak jauh dari mereka nampak seorang lelaki tua yang duduk bersama istrinya yang sudah berumur. Mereka berpegangan tangan memperhatikan sepasang insan muda itu sambil menggelengkan kepala. Dua sejoli itu lewat di depan orang tua itu sambil tersenyum. Lelaki tua itu membalas dengan senyuman yang dipaksakan sambil mengangkat kaca matanya.
“Memang betul, kalau anak muda sudah dimabuk cinta…dunia serasa milik mereka berdua ” ujar kakek menggeleng.
“Iya Pa yang lain ngontrak, jadi ingat jaman kita masih muda dulu….” sahut nenek.
“Ah, Mamah waktu muda nggak secantik itu …” jawab kakek.
Lalu nenek mencubit paha kakek membuat pria tua itu menjerit kesakitan.
“Iyalah kalau nenek secantik itu nggak mungkin dapat kakek …” umpat si Nenek.
Kakek pun nyengir.
***

Sedari Taman Hati, Zul mengantar Aisyah pulang. Mereka sampai di rumah menjelang bedug Magrib bergema. Rumah Aisyah cukup besar dengan taman yang asri di halaman depan. Pohon palem yang tumbuh subur di depan rumah ikut memperteduh pengguna jalan. Isyah turun dari motor dan membuka pagar. Zul menunggu di pintu pagar dan menatap wanita bertubuh sedang itu masuk ke dalam rumah. Pagar rumah Aisyah terbuat dari teralis besi sehingga Zul bisa memastikan kekasihnya sampai di depan pintu dan masuk ke rumah dengan sempurna. Aisyah melambaikan tangannya, tersenyum tipis lalu masuk menutup pintu. Zul masih diam memandang. Lagu anak singkong yang mencintai putri salju selalu menghantuinya. Maklum Aisyah anak orang kaya, sedangkan dia orang tak punya. Tiba-tiba bunyi klakson mobil menggugurkan lamunannya.
“Tiiiiiinnnn”
                Mobil putih susu milik Haji Murod, ayah Aisyah, tak diduga sudah ada di belakangnya. Zul pun meminggirkan motornya, lalu membukakan pintu pagar. Haji Murod membuka jendela mobil. Wajahnya dingin, seperti es di kutub utara. Tapi matanya tajam, laksana pedang yang baru dibeli lalu diasah, Sang sopir, Pak Mamat, lalu memasukkan mobil ke halaman. Zul menganggukkan kepala, mencoba untuk menyapa dengan senyuman. Tapi Haji Murod malah melebarkan bibirnya, sebuah senyum yang dipaksakan dan tidak ikhlas.  
 “Hmmm kamu cocoknya jadi penjaga rumah” kata Haji Murod sinis.
Zul berusaha tegar dan tetap tersenyum, meski hatinya terasa nyesek. Mobil pun masuk, Zul menutup pintu lagi.
“Penjaga rumah pulang dulu Pak… Wassalamualaikum,” katanya lirih.
Haji Murod mendengarnya dan kini benar-benar tersenyum ikhlas. Lega rasanya mendengar Zul membuat pengakuan.
Zul menstarter motornya. Pulang.
***

Haji Murod masuk ke dalam rumah, Aisyah tengah membaca majalah yang diberikan Zul di sebuah sofa berwarna jingga. Haji Murod mengucap salam dan dibalas putrinya.
“Majalah lagi…Majalah lagi” ujar haji Murod sambil berjalan.
                Lelaki tambun itu bosan melihat Aisyah membaca majalah Reforma. Aisyah tidak heran dengan ucapan ayahnya. Kalimat yang sudah biasa didengar, sehingga Aisyah tak merasa perlu meresponnya. Setiap akhir pekan, Zul selalu memberi majalah Reforma kepada Aisyah, sehingga haji Murod sudah hafal kebiasaan itu.
“Jangan-jangan nanti dia ngelamar kamu, maharnya majalah heheh…” sindir Haji Murod yang duduk tak jauh dari anaknya.
“Ah Papa jangan gitu amatlah…” ujar Aisyah jengkel.
                Istri Haji Murod, Nurjanah sedang menonton teve, memperhatikan suaminya yang duduk melepas kaos kaki.
“Papa dari mana saja?” tanya Nurjanah.
“Ya biasalah Ma kegiatan Papa kan seabrek, ngurus Yayasan, datangin undangan jamaah. Ohya, Papa lagi buat anggaran ke Kemenag untuk minta bantuan anggaran pembangunan gedung As Salam…”
Nurjanah menggeser duduknya dekat suaminya.
“Gimana kabar Pesantren kita, saya dengar santri banyak yang mundur ?”
“Ya namanya juga sekolah, ada yang masuk dan keluar itu biasalah”
                Nurjanah duduk merapat lagi ke sebelah suaminya, agar Isyah tidak mendengar. Tapi Isyah tahu diri, diapun segera bangkit dan masuk kamar.
“Tadi pagi Mbok Ginah ke rumah, memberi tahu anaknya mau dipindah ke pesantren lain. Katanya tidak sanggup membayar iuran santri yang baru. Apalagi suaminya sudah tidak ada. Apa sebaiknya tidak digratiskan saja anak orang tidak mampu seperti Mbok Ginah?”
“Hmmm, gratis, kayaknya saya membesarkan Pesantren bukan untuk itu. Guru perlu digaji, beli buku, peralatan menulis….semua perlu uang.” tegas haji Murod.
“Kan bisa subsidi silang Yah…” ujar Nurjanah.
“Ah itu tidak mendidik, kita harus lprofessional..” jawab Haji Murod.  
“Tapi dulu waktu dikelola Abah santrinya banyak, sekarang kenapa malah menyusut?”
“Itu namanya seleksi alam, hanya orang yang ingin maju yang bisa bertahan. Ndak apa-apa saya lebih mementingkan kuantitas dibanding kualitas, ” Jawab Haji Murod.
                Jawaban itu tidak memuaskan Nurjanah, wanita paruh baya itu sewot. Haji Murod lalu masuk ke dalam kamar.
                Haji Murod dulu seorang pengusaha konveksi, namun usahanya bangkrut. Setelah ayah Nurjanah, Abah Bakar meninggal, Haji Murod diminta meneruskan Yayasan as Salam, sebuah yayasan yang mengelola pesantren, majelis taklim dan pemberdayaan anak kurang mampu. Namun setelah dipegang Haji Murod, 2 tahun silam, pesantren lebih fokus pada pendidikan sedangkan pemberdayaan anak kurang mampu kurang diperhatikan. Akibatnya banyak anak kurang mampu terpaksa mundur, karena tidak sanggup membayar biaya yang dibebankan. Dulu anak kurang mampu diberdayakan sehingga menghasilkan uang untuk pemasukan yayasan. Sekarang hanya anak orang mampu yang bisa mengikuti pendidikan di pesantren As Salam. Sakibng mahalnya.  
                Padahal ketika yayasan dikelola Abah Bakar, santrinya sangat banyak dan hampir separuhnya tidak membayar biaya pendidikan. Santri-santri yang tidak mampu diberdayakan untuk membuat kerajinan tangan, ketrampilan atau menanam pohon yang hasilnya untuk membiayai pendidikan mereka. Itulah yang membuat Nurjanah prihatin, karena perkembangan Pesantren tidak sesuai dengan cita-cita awal saat kakeknya mendirikan Yayasan, yakni untuk bermanfaat bagi umat. Nurjanah hanya  mengingatkan suaminya agar kembali ke khittah, namun nampaknya usahanya belum mendapat tanggapan yang baik. 

###






Kamis, 20 April 2017

Makna Religi & Kehidupan dalam Tembang Macapat



Tembang Macapat merupakan salah satu kelompok tembang yang sampai saat ini masih diuri-uri (dilestarikan) oleh orang Jawa. Ada sebelas tembang dalam macapat, masing-masing memiliki karakter dan ciri yang berbeda, memiliki wataknya sendiri, dan memiliki aturan-aturan penulisan khusus dalam membuatnya.
Di Jawa Tengah, khususnya Solo tembang-tembang macapat banyak digunakan dalam serat-serat dan kasusastran (karya sastra) jawa. Serat-serat tersebut berisi tentang berbagai ajaran budi pekerti, dongeng, cerita wayang, permainan, bahkan berisi doa dan mantra. Kata-kata yang banyak digunakan dalam tembang macapat sebagian besar merupakan bahasa jawa anyar (jawa baru) yang disisipi dengan bahasa jawa kuna.
Banyak tafsir terhadap asal-muasal kata macapat. Ada yang berpendapat berasal dari kata ”mocone papat papat” (membacanya empat empat), ada yang menafsirkan dari kata Maca Asipat (Membaca sifat manusia), dan ada juga yang berpendapat Janmo Koco Asifat (cerminan sifat manusia).
Tembang macapat diyakini sebagian besar orang jawa sebagai kelompok tembang yang memiliki makna proses hidup manusia, proses dimana Tuhan memberikan ruh-Nya, hingga manusia tersebut kembali kepada-Nya. Sifat-sifat manusia sejak lahir hingga kematiannya digambarkan dengan runtut dalam sebelas tembang macapat.
Adapun sebelas tembang macapat yang kaya makna tersebut diantaranya :

Tembang Macapat Maskumambang
Maskumambang menjadi pratanda dimulainya kehidupan manusia di dunia, tembang macapat ini memberi gambaran tentang janin dalam kandungan ibu ketika sedang hamil. Arti kata Maskumambang sendiri banyak yang memaknai sebagai emas yang terapung (emas kumambang), juga sering disebut sebagai maskentir (emas yang terhanyut).

Tembang Macapat Mijil 
Awal hadirnya manusia di dunia ini digambarkan dalam tembang Mijil yang berarti seorang anak terlahir dari gua garba Ibu. Kata lain dari mijil dalam bahasa jawa adalah wijil, wiyos, raras, medal, sulastri yang berarti keluar.

Tembang Macapat Kinanti
Kinanthi banyak diyakini berasal dari kata dikanthi-kanthi (diarahkan, dibimbing, atau didampingi)

Tembang Macapat Sinom
Dalam bahasa jawa Sinom bisanya digunakan untuk menyebut daun asam yang masih muda, beberapa kalangan mengartikan Sinom sebagai si enom, isih enom (masih muda). >> Baca selengkapnya : Macapat Sinom, Bicara Remaja yang Menggelora

Tembang Macapat Asmaradana
Macapat Asmaradana merupakan salah satu tembang yang banyak menggambarkan gejolak asmara yang dialami manusia. Sesuai dengan arti kata, Asmaradana memiliki makna asmara dan dahana yang berarti api asmara.

Tembang Macapat Gambuh
Jika merujuk dari Bausastra Jawa, Gambuh berarti kulina (sudah terbiasa), wis lantih (sudah terlatih), namun ada juga yang memaknai Gambuh sebagai sebuah kecocokan (dari kata “jumbuh”).

Tembang Macapat Dhandanggula
Dhandhanggula berasal dari kata dhandhang yang berarti burung gagak yang melambangkan duka, dan dari kata gula yang terasa manis sebagai lambang suka. Kebahagiaan dapat dicapai setelah sebuah pasangan dapat melampaui proses suka-duka dalam berumah tangga

Tembang Macapat Durma
Sifat-sifat buruk digambarkan tembang macapat Durma. Durma bagi beberapa kalangan diartikan sebagai munduring tata krama (mundurnya etika), namun ada juga yang berpendapat berasal dari kata Derma yang berarti suka berbagi rejeki pada orang lain.

Tembang Macapat Pangkur
Pangkur yang juga berarti mungkur (mundur/mengundurkan diri), memberi gambaran bahwa manusia mempunyai fase dimana ia akan mulai mundur dari kehidupan ragawi dan menuju kehidupan jiwa atau spiritualnya.

Tembang Macapat Megatruh
Megatruh merupakan salah satu tembang macapat yang menggambarkan tentang kondisi maunisa di saat sakaratul maut. Kata megatruh sendiri dipercaya berasal dari kata megat/pegat (berpisah) dan ruh, yang artinya berpisahnya antara jiwa dan raga.

Tembang Macapat Pucung
Badan wadag yang telah ditinggalkan oleh ruhnya biasanya akan dirawat dan disucikan sebelum ia dikembalikan dari asalnya yaitu rahim ibu pertiwi (tanah). Jasad akan dimandikan dan dibungkus dengan kain mori putih sebagai lambang kesucian tau dipocong.