Bukan
salah saya kalau suatu hari saya ceramah agama di depan sejumlah mahasiswa
Monash yang, satu di antaranya, Islamnya menggebu. Artinya, Islam serba berbau
Arab. Jenggot mesti panjang. Ceramah mesti merujuk ayat, atau Hadis. Lauk mesti
halal meat. Dan, semangat mesti ditujukan buat meng-Islam-kan orang Australia.
Tanpa itu semua jelas tidak Islami.
Saya pun dicap tidak Islami.
Iman saya campur aduk dengan wayang. Dus, kalau pakai kaca mata Geertz,
seislam-islamnya saya, saya ini masih Hindu. Memang salah saya, sebab ketika
itu saya main ibarat: Gatutkaca itu sufi. Ia satria-pandita. Tiap saat seperti
tidur, padahal berzikir qolbi. Jasad di bumi, roh menemui Tuhan. Ini turu lali,
mripat turu, ati tangi: mata tidur hati melek, seperti olah batin dalam dunia
kaum sufi.
Biar masih muda, hidup
Gatutkaca seimbang, satu kaki di dunia satu lagi di akhirat. Mirip Nabi Daud:
hari ini puasa, sehari esoknya berbuka. Dan saya pun dibabat ...
Juli tahun lalu saya dijuluki
Gus Dur sebagai orang yang doanya pendek. Bukan harfiah cuma berdoa sebentar.
Maksudnya, tak banyak doa yang saya hafal. Namun, yang tak banyak itu saya
amalkan.
"Dan itu betul. Artinya,
banyak ilmu ndak diamalkan buat apa?" kata Pak Kiai sambil bergolek-golek
di Hotel Sriwedari, Yogya. Apa yang lebih indah dalam hidup ini, selain amal
yang memperoleh pengakuan Romo Kiai? Saya merasa hidup jadi kepenak, nikmat.
Dalam deretan Sufi, Al Adawiah
disebut "raja." Wanita ini hamba yang total. Hidupnya buat cinta.
Gemerlap dunia tak menarik berkat pesona lain: getaran cinta ilahi. Pernah ia
berkata, "Bila Kau ingin menganugerahi aku nikmat duniawi, berikan itu
pada musuh-musuh-Mu. Dan bila ingin Kau limpahkan padaku nikmat surgawi,
berikanlah pada sahabat-sahabat-Mu. Bagiku, Kau cukup."
Ini tentu berkat
ke-"raja"-annya. Lumrah. Lain bila itu terjadi pada Kang Sejo. Ia
tukang pijit -maaf, Kang, saya sebut itu- tunanetra. Kang Sejo pendek pula
doanya. Bahasa Arab ia tak tahu. Doanya bahasa Jawa: Gusti Allah ora sare
(Allah tak pernah tidur): potongan ayat Kursi itu. Zikir ia kuat. Soal ruwet
apa pun yang dihadapi, wiridannya satu: "Duh, Gusti, Engkau yang tak pernah
tidur ..." Cuma itu.
"Memang sederhana, wong
hidup ini pun dasarnya juga sederhana," katanya, sambil memijit saya.
Saya tertarik cara hidupnya.
Saya belajar. Guru saya ya orang macam ini, antara lain. Rumahnya di Klender.
Kantornya, panti pijat itu, di sekitar Blok M. Ketika saya tanya, apa yang
dilakukannya di sela memijit, dia bilang, "Zikir Duh, Gusti ..." Di
rumah, di jalan, di tempat kerja, di mana pun, doanya ya Duh, Gusti ... itu.
Satu tapi jelas di tangan.
"Berapa kali Duh Gusti
dalam sehari?" tanya saya.
"Tidak saya hitung."
"Lho, apa tak ada
aturannya? Para santri kan dituntun kiai, baca ini sekian ribu, itu sekian
ribu," kata saya
"Monggo mawon (ya,
terserah saja)," jawabnya. "Tuhan memberi kita rezeki tanpa hitungan,
kok. Jadi, ibadah pun tanpa hitungan."
"Sampeyan itu seperti
wali, lo, Kang," saya memuji.
"Monggo mawon. Ning (tapi)
wali murid." Dia lalu ketawa.
Diam-diam ia sudah naik haji.
Langganan lama, seorang pejabat, mentraktirnya ke Tanah Suci tiga tahun yang
lalu.
'Senang sampeyan, Kang, sudah
naik haji?"
"Itu kan rezeki. Dan
rezeki datang dari sumber yang tak terduga," katanya.
"Ayat menyebutkan itu,
Kang."
"Monggo mawon. Saya tidak
tahu."
Ketularan bau Arab, saya tanya
kenapa doanya bahasa Jawa.
"Apa Tuhan tahunya
cuma bahasa Arab?"
"Kalau sampeyan Dah
Duh Gusti di bis apa penumpang lain ..."
"Dalam hati, Mas. Tak
perlu diucapkan."
Ia, konon, pernah menolak zakat
dari seorang tetangganya. Karena disodor-sodori, ia menyebut, "Duh, Gusti,
yang tak pernah tidur ..." Pemberi zakat itu, entah bagaimana, ketakutan.
Ia mengaku uang itu memang kurang halal. Ia minta maaf.
"Mengapa sampeyan tahu
uang zakat itu haram"? tanya saya.
"Rumah saya tiba-tiba
panas. Panaaaas sekali."
"Kok sampeyan tahu panas
itu akibat si uang haram?"
"Gusti Allah ora sare,
Mas," jawabnya.
Ya, saya mengerti, Kang Sejo.
Ibarat berjalan, kau telah sampai. Dalam kegelapan matamu kau telah melihatNya.
Dan aku? Aku masih dalam taraf terpesona. Terus-menerus
---------------
Mohammad Sobary, Tempo 12 Januari 1991
Mohammad Sobary, Tempo 12 Januari 1991
Tidak ada komentar:
Posting Komentar