Sabtu, 22 April 2017

Inilah Bab 1 Novel Sacred Promise

1


1.       CINTA BERSEMI DI TAMAN HATI


Sore yang cerah ceria, matahari mulai menyingsing menuju pembaringannya. Bunga-bunga sapa tropika bertebaran tumbuh bersemi, menjadi saksi perjumpaan dua insan menjelang senja. Sepasang muda-mudi bertemu untuk membunuh waktu di tengah hijaunya rumput savana.  
                Zulfikar, pemuda dengan rambut sedikit gondrong melempar tasnya ke rerumputan. Zul, panggilan akrab wartawan berusia 27 tahun itu mendorong ayunan dimana seorang gadis jelita duduk manja diatasnya. Itulah gadis pujaan hatinya yang bernama Aisyah, atau disapa Isyah. Gadis itu duduk asyik dengan menikmati maju mundur ayunan sambil sesekali membetulkan kerudungnya. Ada peribahasa centil untuk menggambarkan dua insan berlainan jenis itu, “masa kecil kurang bahagia”, hehehe.
                Seperti biasa, setiap Sabtu sore, Zul menjemput Aisyah selepas mengajar di Madrasah Ibtidaiyah. Sebelum pulang, mereka mampir bermain sebentar di sebuah taman yang elok. Gadis berusia 24 tahun, menjerit tatkala ayunan terdorong agak kencang. Zul tertawa cekikikan. Dengan berselimut kerudung abu-abu, Aisyah tampak anggun dan balutan batik hijau, seragamnya sebagai tenaga pengajar pendidikan sekolah Islam. Perempuan lulusan Pondok pesantren Lirboyo itu sudah setahun mengajar di Madrasah Ibnu Kholdun.
                Taman Hati adalah ruang terbuka hijau yang dikelola oleh Pemda Jakarta. Pemerintah Propinsi saat ini gencar menata kembali taman-taman kota menjadi lebih asri, rapi dan cantik. Ruang terbuka hijau memberikan manfaat bagi warga, karena sering digunakan sebagai tempat olahraga, nongkrong atau sekadar menghirup udara segar di tengah pengapnya polusi yang mendera sang ibukota.
                Tak jarang Taman Hati menjadi tempat favorit bagi kawula muda yang sedang dimabuk cinta, tak terkecuali dengan Zul dan Isyah. Dalam seminggu, dua atau tiga kali mereka menyempatkan untuk singgah sejenak di Taman Hati, dan baru pulang menjelang senja. Biasanya selepas deadline majalah, Zul menjemput kekasih hatinya dengan kendaraan roda dua. Jika tidak dijemput, Aisyah menggunakan jasa ojek online untuk pulang ke rumah.
                Pada hari libur Sabtu-Minggu, biasanya banyak masyarakat yang membawa anak-anaknya bermain di taman yang luasnya 3 hektar itu. Namun hari itu, hanya beberapa keluarga yang membawa anaknya bermain di Taman yang masih segar udaranya. Mungkin karena tanggal muda, maka sebagian besar keluarga memilih jalan-jalan di pusat keramaian. Mal merupakan tempat yang nyaman dan asyik untuk berbelanja, bermain dan makan bersama. Apalagi di Jakarta, puluhan mal berdiri megah untuk menampung warga ibukota yang ingin refreshing bersama keluarga.
                Lain dengan mal, lain pula dengan pula dengan perpustakaan atau museum. Dapat dikatakan museum dan perpustakaan adalah tempat paling sepi di dunia setelah kuburan. Hehehe. Padahal untuk masuk ke museum atau perpustakaan tarifnya murah bahkan gratis. Beda dengan mal yang mesti membawa uang banyak. Dilema memang. Pepustakaan dan museum menyediakan ilmu pengetahuan secara gratis eh malah sepi, sementara mal yang minim pengetahuan dan membayar pula malah ramai, Ini membuktikan bahwa budaya masyarakat untuk investasi kepala itu lebih sedikit ketimbang di perut.
                Ya begitulah. Kalau pun ke mal, maka yang dicari Zul dan Isyah biasanya ke toko buku, setelah itu pulang. Jika harus  makan, mereka memilih ke food court karena lebih banyak pilihan dan murah ketimbang restoran yang mahal-mahal. 
***

“Ibu kemarin telepon, tanya kapan saya merit,” ujar Zul serius sambil mendorong ayunan.
Ia ingin mengatakan sesuatu tapi ditahannya sejenak.
“Terus..” balas Aisyah .
Zul menghela nafas sejenak.
“Saya sih penginnya cepet-cepet melamar Aisyah hehehe “ jawab Zul.
“Terus kenapa mas nggak ngelamar….” Aisyah balik bertanya.
                Hmmm Zul merasa tertantang, sudah satu tahun mereka saling mengenal. Meski hanya bermain di taman atau kegiatan pengajian bersama. Zul tak pernah berduaan sendiri dan selalu mengajak Isyah di keramaian. Secara umur, Zul memang sudah cukup, apalagi Isyah pun tidak banyak menuntut. Inilah pertanyaan yang ditunggunya dari Aisyah, meski sebenarnya ia belum menyiapkan jawabannya.  
“Iya nunggu modal dulu, belum ada investor hehehe “ canda Zul.
“Modal kok ditunggu…..dicari kali, nanti malah keburu diambil sama investornya hihihi…”balas Aisyah agak menggoda.  
                Zul cemberut, lalu ia mendorong ayunan kuat-kuat. Aisyah teriak sambil memegang besi ayunan dengan erat. Gadis berhidung mancung itu ketakutan.
“Ah nggak Mas…. Bercandaaa,“ ujarnya kencang.
                Pemuda berbadan tinggi itu memelankan dorongannya sambil tersenyum. Dia kemudian membisikan sesuatu.
“Insyaallah nanti dilamar, sabar yaa ….”
                Zul mendatangi Aisyah, berdiri di depannya memegang tangan gadis berkulit putih bersih itu. Aisyah tertunduk, tersipu malu, sambil melepaskan tangan pemuda berkulit sawo matang itu.
“Semua akan indah pada waktunya…” ujar Aisyah penuh harap.
                Zul tahu maksudnya, lalu mundur sejenak, mengambil sebuah majalah dari tasnya. Aisyah sepertinya sudah bisa menebak apa yang akan diberikan laki-laki jangkung itu. Ya, Majalah Reforma yang baru saja terbit. Aisyah membuka-buka isinya, membaca liputan apa yang ditulis oleh pemuda yang berhasil merebut hatinya. Tak banyak tulisan Zul yang mengisi edisi kali ini dan hampir semuanya berita yang ringan. Aisyah menatap pemuda keturunan Jawa itu.
“Dimarahin lagi sama pak Batubara?” tanya Aisyah.
Zul menggeleng.  
“Mungkin Senin nanti… “ ujar Zul.
Hari Senin adalah agenda rutin rapat redaksi mingguan majalah Reforma.
“Kenapa? ”
“Hmm entahlah…. Aku kayaknya nggak cocok jadi wartawan “ ungkap Zul bimbang.
                Laki-laki alumni Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang itu pun menceritakan keinginannya. Sebenarnya cita-citanya dulu masuk Fakultas Kedokteran, tapi sudah mencoba 2 kali ikut UMPTN, namun tidak tembus. Akhirnya namanya tercantum dalam mahasiswa baru jurusan Sejarah Undip. Beruntung Zul pada saat kuliah menjadi pengelola Koran Kampus Manunggal milik Universitas. Berbekal ilmu selama menjadi wartawan kampus itulah dia bisa melamar kerja menjadi wartawan majalah Reforma yang kini sudah dijalaninya selama 2 tahun.
“Aku ngerasa Wartawan itu seperti profesi buangan, setelah nyari pekerjaan lain nggak dapet-dapet, larinya ke wartawan…jadi kayak dubes hehehe, “ Zul curhat.
“Ah nggak juga, itu hanya perasaan Mas saja, semua profesi itu baik,” ucap Aisyah menenangkan.
“Aku mau mencari pekerjaan lain…yang lebih menjanjikan masa depan,” tegas Zul.
Aisyah menghela nafas. Bingung.
“Jalani saja apa yang ada, kalau memang bukan jalannya pasti nanti akan Allah bukakan. Tapi sebenarnya profesi wartawan juga menjanjikan kok, banyak kan wartawan yang berhasil dan masa depannya cerah,” Isyah mulai menghibur.
 “Aku merasa tidak punya sesuatu yang bisa dibanggakan di kantor. Sering gagal menembus nara sumber utama. Sementara teman seangkatanku waktu masuk, Rendi, sekarang sudah menjadi redaktur, “ Zul mulai blak-blakan.
Dari sorot matanya, Aisyah paham pemuda itu sedang galau.
“Kita hanya berusaha Mas, semua sudah ada yang ngatur. Aku yakin Mas Zul bisa kok jadi Redaktur, Mas Zul harus bisa buktikan itu …. demi karir Mas, “ nasehat Aisyah lirih.
“Bukan demi karir…demi masa depan Kita,” ucap Zul tersenyum dibalas senyuman dari bibir tipis Aisyah.
“Itulah yang aku suka dari kamu, bisa memahami dan memotivasi. Kamu ibarat bunga Cinta yang bersemi di taman Hatiku…” kata Zul.
“Ah mulai lagi deh sastrawannya  hihihi…”
                Zul mengambil sepotong bunga Matahari yang sedang berkembang. Diberikan bunga itu pada gadis di depannya. Aisyah tersipu melihat belahan hatinya yang sok romantis. Saking emosinya mereka kurang memperhatikan di sekitarnya. Beberapa anak kecil duduk diam menyaksikan sepasang merpati sedang merangkai hati. Bocah-bocah itu tertegun sambil menunggu untuk bermain ayunan. Saking fokusnya, Zul kurang memperhatikan jika mereka menjadi tontonan anak-anak. Zul menyelipkan bunga itu di jepitan pita jilbab gadis manis itu. Lalu dia mengambil HP untuk memotret gadis manis itu. Aisyah tersenyum. Jepret…
“Cantiknya kakaaak…” tiba-tiba seorang anak kecil bertubuh gendut menyahut.
                Temannya yang lain bersorak dan sebagian tepuk tangan. Sepasang muda -mudi itu bukan main terkejutnya dan merasa malu dikelilingi anak-anak. Zul dan Aisyah kikuk.
“Kak gantian dong dari tadi kami nungguin main ayunan…”ujar gadis kecil yang lugu.
                Mereka berdua segera mempersilakan anak anak itu bermain ayunan. Anak-anak itu pun langsung berebutan. Aisyah mengajak Zul pulang, malu. Mereka menunduk melewati beberapa orang yang seolah memperhatikan tindak tanduk mereka.
                Tak jauh dari mereka nampak seorang lelaki tua yang duduk bersama istrinya yang sudah berumur. Mereka berpegangan tangan memperhatikan sepasang insan muda itu sambil menggelengkan kepala. Dua sejoli itu lewat di depan orang tua itu sambil tersenyum. Lelaki tua itu membalas dengan senyuman yang dipaksakan sambil mengangkat kaca matanya.
“Memang betul, kalau anak muda sudah dimabuk cinta…dunia serasa milik mereka berdua ” ujar kakek menggeleng.
“Iya Pa yang lain ngontrak, jadi ingat jaman kita masih muda dulu….” sahut nenek.
“Ah, Mamah waktu muda nggak secantik itu …” jawab kakek.
Lalu nenek mencubit paha kakek membuat pria tua itu menjerit kesakitan.
“Iyalah kalau nenek secantik itu nggak mungkin dapat kakek …” umpat si Nenek.
Kakek pun nyengir.
***

Sedari Taman Hati, Zul mengantar Aisyah pulang. Mereka sampai di rumah menjelang bedug Magrib bergema. Rumah Aisyah cukup besar dengan taman yang asri di halaman depan. Pohon palem yang tumbuh subur di depan rumah ikut memperteduh pengguna jalan. Isyah turun dari motor dan membuka pagar. Zul menunggu di pintu pagar dan menatap wanita bertubuh sedang itu masuk ke dalam rumah. Pagar rumah Aisyah terbuat dari teralis besi sehingga Zul bisa memastikan kekasihnya sampai di depan pintu dan masuk ke rumah dengan sempurna. Aisyah melambaikan tangannya, tersenyum tipis lalu masuk menutup pintu. Zul masih diam memandang. Lagu anak singkong yang mencintai putri salju selalu menghantuinya. Maklum Aisyah anak orang kaya, sedangkan dia orang tak punya. Tiba-tiba bunyi klakson mobil menggugurkan lamunannya.
“Tiiiiiinnnn”
                Mobil putih susu milik Haji Murod, ayah Aisyah, tak diduga sudah ada di belakangnya. Zul pun meminggirkan motornya, lalu membukakan pintu pagar. Haji Murod membuka jendela mobil. Wajahnya dingin, seperti es di kutub utara. Tapi matanya tajam, laksana pedang yang baru dibeli lalu diasah, Sang sopir, Pak Mamat, lalu memasukkan mobil ke halaman. Zul menganggukkan kepala, mencoba untuk menyapa dengan senyuman. Tapi Haji Murod malah melebarkan bibirnya, sebuah senyum yang dipaksakan dan tidak ikhlas.  
 “Hmmm kamu cocoknya jadi penjaga rumah” kata Haji Murod sinis.
Zul berusaha tegar dan tetap tersenyum, meski hatinya terasa nyesek. Mobil pun masuk, Zul menutup pintu lagi.
“Penjaga rumah pulang dulu Pak… Wassalamualaikum,” katanya lirih.
Haji Murod mendengarnya dan kini benar-benar tersenyum ikhlas. Lega rasanya mendengar Zul membuat pengakuan.
Zul menstarter motornya. Pulang.
***

Haji Murod masuk ke dalam rumah, Aisyah tengah membaca majalah yang diberikan Zul di sebuah sofa berwarna jingga. Haji Murod mengucap salam dan dibalas putrinya.
“Majalah lagi…Majalah lagi” ujar haji Murod sambil berjalan.
                Lelaki tambun itu bosan melihat Aisyah membaca majalah Reforma. Aisyah tidak heran dengan ucapan ayahnya. Kalimat yang sudah biasa didengar, sehingga Aisyah tak merasa perlu meresponnya. Setiap akhir pekan, Zul selalu memberi majalah Reforma kepada Aisyah, sehingga haji Murod sudah hafal kebiasaan itu.
“Jangan-jangan nanti dia ngelamar kamu, maharnya majalah heheh…” sindir Haji Murod yang duduk tak jauh dari anaknya.
“Ah Papa jangan gitu amatlah…” ujar Aisyah jengkel.
                Istri Haji Murod, Nurjanah sedang menonton teve, memperhatikan suaminya yang duduk melepas kaos kaki.
“Papa dari mana saja?” tanya Nurjanah.
“Ya biasalah Ma kegiatan Papa kan seabrek, ngurus Yayasan, datangin undangan jamaah. Ohya, Papa lagi buat anggaran ke Kemenag untuk minta bantuan anggaran pembangunan gedung As Salam…”
Nurjanah menggeser duduknya dekat suaminya.
“Gimana kabar Pesantren kita, saya dengar santri banyak yang mundur ?”
“Ya namanya juga sekolah, ada yang masuk dan keluar itu biasalah”
                Nurjanah duduk merapat lagi ke sebelah suaminya, agar Isyah tidak mendengar. Tapi Isyah tahu diri, diapun segera bangkit dan masuk kamar.
“Tadi pagi Mbok Ginah ke rumah, memberi tahu anaknya mau dipindah ke pesantren lain. Katanya tidak sanggup membayar iuran santri yang baru. Apalagi suaminya sudah tidak ada. Apa sebaiknya tidak digratiskan saja anak orang tidak mampu seperti Mbok Ginah?”
“Hmmm, gratis, kayaknya saya membesarkan Pesantren bukan untuk itu. Guru perlu digaji, beli buku, peralatan menulis….semua perlu uang.” tegas haji Murod.
“Kan bisa subsidi silang Yah…” ujar Nurjanah.
“Ah itu tidak mendidik, kita harus lprofessional..” jawab Haji Murod.  
“Tapi dulu waktu dikelola Abah santrinya banyak, sekarang kenapa malah menyusut?”
“Itu namanya seleksi alam, hanya orang yang ingin maju yang bisa bertahan. Ndak apa-apa saya lebih mementingkan kuantitas dibanding kualitas, ” Jawab Haji Murod.
                Jawaban itu tidak memuaskan Nurjanah, wanita paruh baya itu sewot. Haji Murod lalu masuk ke dalam kamar.
                Haji Murod dulu seorang pengusaha konveksi, namun usahanya bangkrut. Setelah ayah Nurjanah, Abah Bakar meninggal, Haji Murod diminta meneruskan Yayasan as Salam, sebuah yayasan yang mengelola pesantren, majelis taklim dan pemberdayaan anak kurang mampu. Namun setelah dipegang Haji Murod, 2 tahun silam, pesantren lebih fokus pada pendidikan sedangkan pemberdayaan anak kurang mampu kurang diperhatikan. Akibatnya banyak anak kurang mampu terpaksa mundur, karena tidak sanggup membayar biaya yang dibebankan. Dulu anak kurang mampu diberdayakan sehingga menghasilkan uang untuk pemasukan yayasan. Sekarang hanya anak orang mampu yang bisa mengikuti pendidikan di pesantren As Salam. Sakibng mahalnya.  
                Padahal ketika yayasan dikelola Abah Bakar, santrinya sangat banyak dan hampir separuhnya tidak membayar biaya pendidikan. Santri-santri yang tidak mampu diberdayakan untuk membuat kerajinan tangan, ketrampilan atau menanam pohon yang hasilnya untuk membiayai pendidikan mereka. Itulah yang membuat Nurjanah prihatin, karena perkembangan Pesantren tidak sesuai dengan cita-cita awal saat kakeknya mendirikan Yayasan, yakni untuk bermanfaat bagi umat. Nurjanah hanya  mengingatkan suaminya agar kembali ke khittah, namun nampaknya usahanya belum mendapat tanggapan yang baik. 

###






Tidak ada komentar:

Posting Komentar