Jumat, 07 April 2017

SITKOM : Kamingsun, Lurah Budiman

BACKGROUND STORY
Menjadi Lurah tak pernah ada dalam bayangan Kamingsun. Sebagai anak perantau dari Jawa, lulusan SMA pula, Kamingsun awalnya menjadi pegawai honorer di kelurahan Tanah Kosong, pinggiran Jakarta. Itu pun diajak kakaknya Jarwoto yang jadi sekretaris lurah di Tanah Tinggi, sebelahan sama Tanah Kosong. Jarwoto menitipkan Kamingsun pada Dolalah , sekretaris lurah karena kebetulan di Tanah Kosong ada lowongan honorer kelurahan. Tugasnya apa saja, kadang ngetik, nganter surat, moto copi dan sebagainya. Pokoknya srabutanlah dan siapapun bisa menyuruh Kamingsun layaknya “pembantu”.   


Cita-cita Kamingsun nggak muluk-muluk. Ia ingin agar hidupnya lebih baik dari orang tuanya yang hanya sebagai sopir becak di Solo. Itu saja. Maka selepas SMA, Kamingsun ikut kakaknya merantau ke Jakarta. Untuk merubah nasib, maka ia memaksakan diri kuliah pada malam hari.  Dengan berdarah-darah, akhirnya Kamingsun menuntaskan kuliahnya selama 5 tahun. Pada saat yang sama ada penerimaan CPNS di Pemprov DKI dan beruntung Gubernur DKI membuat kebijakan memprioritaskan sarjana yang sudah pernah mengabdi sebagai pegawai honorer untuk diterima sebagai PNS. Namun Kamingsun pertama kali diterima malah jadi pegawai rendahan yakni menjadi petugas TU atau Tata Usaha di Balaikota.
Tiga tahun menjadi TU dengan gelar sarjana kesannya agak gimana gitu. Tapi Kamingsun yang polos menjalaninya dengan ikhlas. Suatu ketika Kamingsun menemukan uang Rp 100 juta bantuan Gubernur yang tertinggal di kantor. Malang tak dapat ditolak, Untung tak dapat diraih. Setelah kejadian itu viral di media sosial, Gubernur pun memanggilnya. Gubernur heran karena Kamingsun ternyata seorang sarjana. Diapun meminta Kamingsun ikut seleksi jadi Lurah. Akhirnya Kamingsun lolos seleksi. Tapi karena dia tidak punya pengalaman yang cukup, maka Kamingsun  ditempatkan di kelurahan dengan grade paling bawah di Jakarta yakni Tanah Kosong. Kamingsun kaget karena itulah tempat dimana dia pernah sebagai tenaga honorer.
Jamak dalam masyarakat ada Pomeo tak orang ada yang mau jadi lurah di Tanah Kosong, kecuali kepepet. Tanah Kosong adalah kelurahan paling “horror” di pinggir Jakarta. Selain pemakaman yang disinyalir banyak hantu, juga Rawan pembegalan, Café malam, dan banyak pengangguran, karena warganya rata-rata orang gusuran yang malas. Para pemuda tempatan memilih menjadi ojek pangkalan, tukang parkir, dan preman pasar karena mereka merasa sebagai yang punya wilayah. Sementara pemuda pendatang menjadi pemulung, tukang gali kuburan dan ojek online.  Nah ojek pangkalan dan ojek online ini sering bentrok. Tawuran massal juga sering terjadi antara kampung orang tempatan Kebon Kosong dan kampung pendatang di Rawa Ompong karena masalah sepele.
Kehadiran Kamingsun sebagai lurah di Tanah Kosong mendapat sambutan yang kurang ramah dari aparat kelurahan. Mereka tak percaya, Kamingsun yang 3 tahun lalu masih lugu dan mereka suruh-suruh tiba-tiba menjadi Pimpinan kelurahan yang akan menyuruh mereka. Apalagi Kamingsun tahu persis permainan yang ada di kelurahan itu. Mereka tidak takut pada Kamingsun, tapi takut kalau perbuatan mereka dilaporkan Kamingsun ke Gubernur. Mereka menyambut kehadiran Kamingsun dengan setengah hati.
Kamingsun menjadi lurah dengan segudang masalah. Setiap berganti lurah , kata-kata yang keluar selalu tidak betah. Bahkan beberapa terkena stroke karena banyaknya masalah yang menggunung. Lurah di Tanah Kosong, dianggap buangan seperi Dubes hehehe. Desa yang miskin karena tidak banyak retribusi. Masukan yang paling besar adalah pemakaman yang luas milik Pemda dan tempat pembuangan sampah yang akan menjadi kelas nasional. Sesuai namanya, di Tanah Kosong masih banyak lahan yang kosong. Nah kadang ini yang menggoda aparat. Bahkan Lurah sebelumnya terpaksa diganti masalah lahan kosong yang dijual illegal ke pengembang.
Di Kelurahan pun budaya pungli masih menjamur, padahal rata-rata PNS yang gajian tiap bulan. Budaya ini dikomandani oleh Sekdes Dolalah, pria paruh baya keturunan Betawi. Meski ada Lurah, namun aparat kelurahan lebih takut pada Sekdes Haji Dolalah ketimbang Lurah. Ia orang tempatan,  senior dan sudah 20 tahun jadi Sekdes. Orang bialng Sekdes Abadi. Apalagi dia merasa, kalau tidak ada dia, Kamingsun tidak akan jadi lurah seperti sekarang. Itulah yang membuat Kamingsun rada segan.
Kamingsun pernah menjadi tenaga honorer dan dipercaya oleh pemprov DKI untuk mengomandani kelurahan Tanah Kosong. Kalau boleh memilih Kamingsun pilih kelurahan lain, pokoknya selain Tanah Kosong. Kamingsun tahu persis seperti apa kehidupan di masyarakat Tanah Kosong. Namun mungkin karena dia tahu lapangan, maka Pemprov menugaskannya membenahi kelurahan yang amburadul. Maka Kamingsun menganggap penugasannya sebagai amanat dan tantangan, atau dalam bahasa agama disebuh Ibadah. 
Maka misi pertama Kamingsun adalah reformasi birokrasi.
Pertama kali yang dilakukan Kamingsun justru bukan melarang para aparat kelurahan melakukan kebiasaannya yang salah. Dia membiarkan praktek itu berlangsung, sepanjang dia tidak melihat langsung. Karena minggu pertama Kamingsun di kantor saja, tak ada pegawai yang berani macam-macam. Pakdhe Ranto yang biasanya terus terang mengutip masyarakat saat membuat surat atau KTP, tiba-tiba berubah dan mengembalikan uang yang diberikan warga. Ini malah membuat warga jadi bingung dan heran.
Minggu kedua, waktunya Kamingsun blusukan seharian. Jam 9 ke kantor lalu keluar menemui penduduk dan baru pulang sore jam 3. Kamingsun meniru Jokowi untuk mengetahui masalah di lapangan ditemani Gudel dan Bang Togar. Nah selama seminggu, Kamingsun nggak ngantor aparat sumringah. Praktek lama kembali beroperasi. Warga kaget karena minggu kemarin tidak ada pungutan, sekarang kok ada lagi. Aparat kelurahan pun menjawab sekenanya. Dan sebelum jam 3, Kamingsun kembali ke kelurahan, tapi sebagian besar pegawai sudah pulang. Namun Kamingsun sudah tahu apa yang dilakukan aparat dari warga yang melapor ketika ia blusukan.
Minggu ketiga, Kamingsun kali ini tanpa pemberitahuan, pagi pergi tiba-tiba siang nongol di kantor. Ini yang membuat aparat ketar ketir. Dan yang terjadi terjadilah. Dia menangkap basah  Pakdhe Ranto menerima pungli. Kamingsun pun memanggil ke ruangannya. Semua aparat diam. Pakdhe Ranto panas dingin. Kamingsun tidak marah, hanya membacakan pasal-pasal pelarangan pungli. Termasuk peraturan presiden yang membentuk saber pungli. Kamingsun menceritakan berapa banyak di Balaikota yang ketangkap basah dan akhirnya dimutasi, bahkan sampai dipecat. Cerita itu sudah cukup membuat Pakdhe Ranto lunglai.
 “Jangan takut kepada saya, nanti suatu saat saya pergi dan tidak jadi lurah disini, tapi takutlah kepada aturan karena itu sanksi dunia dan takutlah kepada Tuhan karena ia Maha melihat yang akan memberi sanksi akherat. “ Nasehat Kamingsun.
Kamingsun tidak marah atau menegur pakdhe Ranto, dia hanya mengingatkan karena sayang pada pakdhe Ranto. Pakdhe Ranto menangis dan meminta maaf serta berjanji tidak ingin mengulangi perbuatannya. Sejak itu sikap pakdhe Ranto berubah 180 derajat. Memberi pelayanan gratis tanpa pungli. Akibatnya Tulkiyem, istri pakdhe Ranto yang selama ini suka nge mol dan nge mil harus mengingat pinggangnya dan sering berantem di rumah karena setelah itu hanya makan gaji bulanan pas-pasan.
Hal ini membuat 3 kasi yang lain, tidak senang dengan sikap pakdhe Ranto. Makan nasi kotak tiap siang yang biasa diambil dari pungli tidak ada lagi. Haji Dolalah yang biasa kesana kemari dengan pakdhe Ranto pun mulai kehilangan partnernya. Suatu ketika Haji Dolalah marah ketika ada pengembang besar yang deal akan membuat perumahan tiba-tiba tidak disetujui oleh Kamingsun karena masalah administratif. Dolalah lalu mengungkit-ungkit jasanya pada Kamingsun. Kalau sudah begitu Kamingsun memilih diam.
Kamingsun tidak marah atau pun menegur Haji Dolalah yang menceramahinya habis-habisan. Lurah muda itu tahu cara menangani Dolalah dengan pakdhe Ranto berbeda. Kamingsun tahu satu-satunya orang yang bisa menasehati Dolalah adalah Abah Acum, ayah Dolalah. Abah Acum memang menghadapi dilema, disatu sisi Dolalah sering mendapat persenan sebagai makelar tanah yang cukup besar, dan sering membantu yayasannya. Namun dia sadar yang dilakukan anaknya adalah subhat, sebagai seorang pendakwah dia punya kewajiban warga untuk mengajak kebaikan dan mencegah keburukan. Abah Acum berjanji menasehati Haji dolalah secara pelan-pelan. Proses ini berjalan agak setengah-setengah.
Bagaimana cara Kamingsun menaklukkan bu Jujuk, yang getol menjodohkan anaknya dengannya. Nah Bu Jujuk ini kerjanya ngumpulin anggaran. Kamingsun mendorong untuk mendapat dana dari propinsi. Kamingsun melarang para pengusaha untuk memberi sumbangan. Para pengusaha yang selama ini ditarik dana menjadi senang, tapi mereka diminta untuk membina para pengangguran agar punya usaha produktif.
Sejak itu Bu Jujuk kehilangan keran uangnya. Dia pura-pura manis di depan Kamingsun, tapi punya niat jahat untuk menjatuhkannya. Cak Kholil juga meradang, karena dana bantuan orang miskin sekarang tidak lagi dipegangnya. Dulu orang miskin datang ke kelurahan menerima bantuan uang dan beras. Sekarang Kamingsun turun ke bawah membagikan sendiri bantuan tunai dan beras tanpa potongan.
“Itu pencitraan” teriak Cak Kholil.
Satu-satunya orang yang tidak disentuh adalah Mang Dadang, seksi ketertiban umum. Karena tidak disentuh sama sekali mang Dadang sangat pro Kamingsun. Kamingsun butuh dukungan Mang Dadang jika berhadapan dengan 4 pejabat kelurahan. Mang Dadanf membela saja entah lurah benar atau salah. Mang Dadang punya pengaruh kuat karena kakaknya Mang Kobar orang yang paling ditakuti di kampung. Tapi karena ada desakan tokoh agama, Kamingsun meminta Café tutup jam 11 malam dan tidak ada prostitusi. Permintaan itu disanggupi oleh Mang Dadang dan Mang Kobar. Meski kadang masih ada juga praktek asusila terselubung.
Sikap ini dianggap mendua atau diskriminatif, sehingga Abah Acung sering mengajak jamaahnya mendemo Lurah. Tapi demo ini ditunggangi kepentingan politik dari tujuan awalnya penutupan Café menjadi penurunan lurah. Kamingsun berjanji akan menyampaikan tuntutan penutupan Café ke pak Camat karena yang berhak merazia Café adalah satpol PP Kecamatan. Selain itu, alasan Kamingsun belum menutup Café dkarena dampaknya akan banyak pengangguran, sementara kelurahan belum punya solusi mengatasi masalah ini.
Namun fitnah kejam di sosial media beredar viral, Kamingsun dituduh mendukung prostitusi. Gubernur yang mendengar kabar itu langsung meminta Camat menutup Café-café tersebut dan memanggil Kamingsun ke pemda untuk dimintai keterangan. Akhirnya Gubernur memberi sanksi berupa teguran keras kepada Kamingsun.
Akibat penutupan itu, sudah dianalisa Kamingsun, timbul kerawanan sosial. Banyak pemuda yang nganggur dan menjadi preman serta sebagian nekat menjadi begal motor. Desa yang dulu aman kini semakin mencekam. Mang Kobar mengaku tidak bisa mengendalikan anak buahnya karena mereka hanya nyari makan. Lewat program pemberdayaan masyarakat Kamingsun berusaha merangkul puluhan pemuda itu namun hanya sebagian kecil yang tertarik.
Sementara itu, sebagai seorang lajang Kamingsun juga dilanda konflik asmara karena hubungannya dengan Maharani tidak mulus. Sementara itu Andi Oleng, anak Mang Kobar juga naksir dengan Maharani. Sikap mang Kobar dan anaknya memang bertolak belakang. Mang Kobar mendukung Kamingsun namun Andi oleng menentang, karena proyeknya pemberdayaan dengan bu Jujuk dihentikan.
Nah bagaimanakah kisah perjuangan Kamingsun mengubah masyarakat Tanah Kosong Jahiliyah menjadi masyarakat yang beradap, makmur dan relijius. Serta bagaimana hubungannya dengan Maharani yang mendapat tentangan keluarga dan orang ketiga.
Saksikan di Sitkom Kamingsum Lurah Idaman.


Karakterisasi
Kamingsun tahu di kelurahan itu semua aparat punya mainan sendiri dan kavling masing-masing.  Mang Dadang, Kasi Pemerintahan dan Ketertiban Umum menolak penutupan Kafe-kafe di Tanah Kosong, alasannya untuk menampung pengangguran. Namun ternyata ia menerima upeti tiap bulan dari pemilik café bersama pihak oknum kepolisian.
Bu Jujuk, Kasi Pemberdayaan Masyarakat sering meminta dana ke orang-orang yang dianggap mampu dan usaha-usaha yang ada termasuk dana CSR pengelola sampah terpadu untuk pemberdayaan masayarakat. Namun ia menganggap dirinya seperti amil pengumpul Zakat yang mendapat jatah 1/8 bagian. Bu Jujuk punya anak perempuan yang masih kuliah namanya si Oneng, yang naksir sama Kamingsun dan didukung sepenuhnya oleh ibunya.
Cak Kholil, Kasi Kesejahteraan Masyarakat adalah orang yang paling sosial karena tugasnya membagikan bantuan dana desa dan beras miskin serta BLT. Tapi dia selalu menyunat dana itu dengan alasan untuk operasional kelurahan.
Pakdhe Ranto, kasi Pelayanan Masyarakat ada di tempat yang paling basah, ia selalu memungut pungli baik pengurusan KTP, surat tanah, perjanjian jual beli , pungutan PBB  dan segala jenis pungutan kepada warga.
Yayuk, tenaga honorer yang penurut. Dia adalah keponakan dari Haji Dolalah. Yayuk yang lugu menjadi rebutan antara Gudel dan Bang Togar.
Yang paling besar kaplingannya sebenarnya Haji Dolalah karena berurusan dengan pengembang. Apalagi banyak lahan kosong, ia bekerjasama dengan pakdhe Ranto membidangi masalah yang super basah itu.
Sejak Kamingsun masuk, mereka mulai berhati-hati, apalagi sifat Kamingsun sejak jadi pegawai honorer termasuk jujur dab anti suap membuat mereka bermain kucing-kucingan. Dua orang staf yang loyal dengan lurah Kamingsun adalah Gudel, tukang ketik dan Bang Togar, hansip merangkap pesuruh kelurahan. 
Permasalah eksternal di kelurahan Tanha Kosong juga terbilang sangat rumit.
Mang Kobar, adalah pengusaha kafe terbesar yang punya banyak anak buah dan menjadi ketua asosiasi Café di Tanah Kosong. Dia selalu mengobarkan perang jika ada rencana penutupan café-Café itu. Setiap ada razia prostitusi sudah bocor duluan, sehingga sulit ditemukan indikasi prostitusi di café tersebut. Satpol PP kecamatan pun gentar, karena mang Kobar mempunyai anak buah yang nekat dan rata-rata pernah di penjara.
Junaedi, pimpinan preman se kelurahan. Anggotanya sering menarik pungli di pasar-pasar, jalan-jalan, pemakaman, pengelolaan sampah dan keramaian. Dia orang yang ditakuti kedua setelah Mang Kobar, sifatnya keras dan kasar membuat orang ciut nyalinya ketika berhadapan. Dia juga kepala suku kampung Kebon Kosong yang ditakuti. 
Lik Manto adalah adik dari pakdhe Ranto, orang yang paling dihormati di kampung pendatang Rawa Ompong. Sehari-hari menjadi pedagang beras dan merangkap sebagai ketua RW dan dewan kelurahan.  Orangnya santai dan tidak meledak-ledak, lebih suka mendamaikan daripada konflik. Anaknya seorang dokter umum yang baru lulus dan bekerja di Puskemas bernama Maharani, masih lajang dan suka menolong.
Abah Acung, adalah ulama di Tanah Kosong, ketua DKM Masjid dan pemilik kontrakan. Sebagai orang yang paling sepuh ia cukup disegani. Ia sering berteriak lantang agar café-café itu ditutup.  Mang Kobar adalah orang yang sering menghindar karena kerap dicermahinya. Ia adalah ayah dari haji Dolalah dan terpandang di masyarakat.
Nyi Sukestri, adalah bidan desa , termasuk orang kaya di kampung tersebut. Karena tidak ada saingan, dia isteri dari cak Kholil, yang menghalangi setiap ada bidan baru yang mau membuka praktek di desa. Satu-satunya saingan adalah Puskemes kecamatan yang berjarak 5 km dari keluarahan Tanah Kosong. Kehadiran Maharani membuat pasiennya berkurang, dia pun bermusuhan dengan Lik Manto. Akibatnya hubungan antara Cak Kholil dan Pakdhe Ranto kurang mesra.
Mbah Tonda, adalah pedagang bakso di kampung yang paling laris. Dia merupakan pakdhe dari Kamingsun. Anaknya bernama Penceng, adalah pemuda pengangguran yang suka iseng di kampung. Kebiasaan paling jelek Penceng dan temannya Gepeng suka mabuk. Biasanya kalau mau ngamen, si Penceng minum dulu biar pede katanya. 
Ustad Jamal, adalah ketua dewan kelurahan. Dialah yang selalu mendukung Kamingsun. Orangnya lurus dan tidak neko-neko. Dia punya anak gadis bernama Sarwani, yang ingin dijodohkan dengan Kamingsun. Sarwani sering digoda oleh Andi Oleng, anak mang Kobar yang menjadi ketua pemuda Tanah Kosong.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar