Senin, 26 Desember 2016

Papua, Tanah Mama yang Terluka

Atas undangan seorang rekan dari Freeport, saya ke Timika mengisi pelatihan Penulisan pada akhir 2012 silam, Ini adalah perjalanan pertama di tanah Papua untuk menyajikan pelatihan menulis . Alhamdulillah acara yang didukung PT Freeport di hotel Grand Tembaga, Timika pada 17 November 2012 tersebut berjalan sukses. Malah insyaallah ada beberapa buku yang akan saya kerjakan dengan tokoh di Timika. Jadi kalau Tuhan menghendaki, saya akan kembali lagi ke Timika.  Berita tentang Timika tak seperti apa yang didengungkan media. Seperti gerakan OPM, Perang suku dan penembakan. Kota Timika sangat aman, kondusif dan terkendali. Saya pun menyusuri jalan Yos Sudarso pusat kota Timika di malam hari. Geliat bisnis Timika sangat terasa. banyak pedagang membuka toko dengan berbagai jenis barang dagangan seperti baju, tas, kebutuhan sehari-hari dan sebagainya. 

Di Timika tidak ada mal besar , Indomaret dan sebagainya.  Masyarakat Timika sudah berbaur antara warga asli dan pendatang. bahkan saya menjumpai banyak pedagang dari perantauan, Jawa, Bugis, maluku dan sebagainya. Kebutuhan pangan di Timika disuplai melalui pesawat carteran yang disewa seharga 1,4 jutaan untuk 1 jam. Tak heran banyak produk dari Makasar yang dijajakan di pasar Timika.  Di Hotel kami menginap, tidak ada musala, suara azan pun terdengar samar-samar. Namun bukan berarti tak ada kaum muslim di sini. Banyak dijumpai wanita berkerudung di Timika, Nereka biasanya para pendatang baik dari Jawa, Bugis dan sebagainya. 



Sebenarnya di Timika ada masjid Agung nya, meskinya tingginya tak boeh melebihi gereja katedral. bahkan Timika merupakan ibukota kabupaten Mimika mempunyai wakil  bupati seorang muslim bernama Abdul Muis, seorang keturunan Papua Fak-Fak. Memang Fak-Fak dikenal sebagai kota di Papua yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Peluang usaha di Timika, ada sektor Pertemabangan. PT Freeport mempunya 17 ribu karyawan. Di Timika profesi dibedakan hanya 3 macam, karyawan, PNS  dan umum. Yang disebut karyawan adalah karyawan Freeport. Maklum inilah satu-satunya perusahaan besar di Timika, yang OB nya bergaji 10 juta sebulan. Freeport menyumbang anggaran belaja Daerah Mimika lebih dari 90 %.  

Bahkan limbah buangan dari Freeport masih bisa dimanfaatkan para pendulang emas. Mereka datang dari luar Papua untuk mengais gram emas yang tersisa. Menurut informasi warga Papua, Marlon, setiap hari mininmal para pendulang emas mendapat 2 gram emas, satu gramnya 600 ribu, jadi sehari mereka rata-rata mengantongi Rp 1,2 juta , sebulan diatas 30 juta wousW. Jumlah para pendulang kian meningkat dan sekarang jumlahnya mencapai separuh karyawan Freeport.  Saya pun melanjutkan ke Kwanki Lama, sebuah daerah persukuan yang sering masuk teve karena perang suku. Di Kwanki lama perang suku bisa disaksikan hampir setiap hari. Di sana nyawa dibalas nyawa. Tapi jangan terlalu dekat menyaksikannya bisa-bisa kena panah yang nyasar.  Potensi Papua Sebagai wilayah yang luas dan masih asli, 

Direktur Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara mengatakan, keuntungan yang didapat PT. Freeport Indonesia dari hasil tambangnya di Papua mencapai Rp 4.000 triliun. Hal ini dihitung dari hasil laporan cadangan mineral PT. Freeport Indonesia di tahun 2010.

“Cadangan mineral PT. Freeport Indonesia berdasarkan laporan tahunannya di tahun 2010, cadangan emas sebesar 55 juta ons, tembaga 56,6 pounds dan perak 180,8 juta ons di tambang Grasberg. Maka dengan harga mineral terutama emas yang terus naik, cadangan ini berpotensi menghasilkan USD 500 milyar atau sekitar Rp. 4000 triliun,” jelasnya.

Sebab itu, dirinya menilai perbuatan dengan memsukan unsur pembayaran pajak PPH untuk membesar-besarkan penerimaan Negara adalah tindakan yang tidak fair alias tidak adil.

Padahal menurutnya, pembayaran pajak memang sudah menjadi kewajiban perusahaan tambang sebagai biaya operasional perusahaan sebelum memperhitungkan keuntungan. 

“Disebutkan setelah beroperasi lebih empat dasawarsa, total kontribusi PT. Freeport Indonesia hingga Juni 2011 sebesar 12,8 miliar. Jumlah tersebut terdiri atas royalti USD 1,3 miliar, deviden USD 1,2 miliar, PPh badan USD 7,9 miliar, PPH karyawan dan pajak lainnya USD 2,4 miliar. Tentu saja ini tidak relevan,” tegasnya di Jakarta.

Atas dasar hal itulah, dirinya mendesak PT. Freeport Indonesia harus mau renegosiasi dan mematuhi seluruh UU Nomor 4 Tahun 2009, tanpa kecuali. Jika PT. Freeport Indonesia tidak mau menjalankannya, maka perusahaan tambang asal Amerika tersebut dapat dikatakan telah melakukan pembangkangan atas undang-undang dan dapat ditindak lanjuti dengan pemutusan kontrak karya.

Selain itu dirinya juga mendesak agar pemerintah Indonesia juga mencabut PP No. 20 Tahun 1994 tentang kepemilikan saham dalam perusahaan yang didirikan dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA). Begitu juga dengan surat keputusan Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM) Nomor 415/A.6/1997 yang antara lain berisi ketentuan membebaskan PT. Freeport Indonesia dari kewajiban divestasi. 

Terlebih lagi penerbitan surat tersebut ditandatangani oleh Kepala BKPM yang jabatannya lebih rendah daripada Presiden, mengingat bahwa kontrak karya PT. Freeport Indonesia yang menandatangani adalah Presiden, sehingga tidak ada alasan BKPM untuk mengeluarkan surat yang bertentangan dengan kontrak karya yang ditandatangani Presiden.

Dimana dengan mencabut PP tersebut, lanjutnya, PT. Freeport Indonesia tidak dapat berkelit soal kewajibannya untuk melakukan divestasi saham seperti yang berlaku pada PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT).

“Maka itu, kedepan pemerintah pusat dan derah harus membentuk konsorsium untuk memiliki saham PT. Freeport Indonesia dan menjadi pengendali mulai saat ini hingga 10 tahun yang akan datang,” pungkasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar