Senin, 19 Desember 2016

Rayuan Maut Seribu Pulau



Saya menjadi saksi yang bukan saksi bisu, atas peristiwa besar 212 yang digelar secara fenomenal oleh umat Islam di Monas. Meskipun dibawah guyuran hujan yang nakal, namun jutaan umat Islam malah menikmati dan meyakini bahwa hujan itu rahmat di hari Jumat. Maka lautan manusia yang berbaju putih itu hanyut dalam cinta pada Rab dengan memuji lewat doa dan dzikir sebelum sholat Jumat. Pemandangan langka yang melibatkan jutaan umat ini dan memadati monas serta jalan protokol di sekitarnya mingkin hanya dijumpai saat demo 1998 dan demo 2001 yang menjatuhkan pemerintah Gus Dur. 

Tatkala sebagian kecil Ummat Islam berkumpul di Jakarta pada 411-212, yang menggetarkan semua pihak adalah jumlahnya. Karena penyembah materialisme hanya terlatih melihat angka, benda, dan jumlah. Hampir tak ada yang “kasyful hijab”, menguak rahasia kualitas nilai di baliknya. Juga jarang yang berpikir bahwa perhelatan cinta itu namanya sangat dilematis secara nilai dan ilmu. Misalnya, kalau tidak disebut “damai”, pasti salah. Tapi kalau disebut “damai”, tidak realistis.
Sebab kedamaian itu produk keadilan. Damai tidak bisa berdiri sendiri, bukan program yang an sich. Damai itu akibat, dan sebabnya adalah keadilan. Jangan ajak orang berdamai sambil menganiayanya. Rangkullah untuk bekerja sama membangun keadilan, hasilnya adalah kedamaian.
Wajah 411-212 membuktikan kepada dunia bahwa ia berlangsung damai, tulus, dan khusyuk. Bahkan ia dinamakan “super damai” karena mendalamnya niat untuk membuktikan jiwa damai Ummat Islam. Padahal asal-usulnya mereka berkumpul justru karena menuntut keadilan. Damai yang sejati, genuine, dan otentik terjadi kalau keadilan dilaksanakan. Bukan hanya “gambar kecil” Pulau Seribu, tapi terutama “gambar besar”: cacat Negara, krisis kepemimpinan yang sangat parah, ketidakseimbangan pemerintahan, ketimpangan ekonomi, terkikisnya martabat bangsa, multi-disharmoni dalam kehidupan bangsa dan masyarakat.

Meskipun demikian, keadilan dan kedamaian memang bukan untuk dicapai, melainkan untuk dituju. Diperjuangkan. Terus diperjuangkan di jalan panjang. “Wa idza faraghta fanshab, wa ila Robbika farghab”. Selesai satu tahap, kerjakan berikutnya. Tapi berharapnya hanya kepada Allah, tidak kepada Pemerintah
Musuh utama manusia adalah jiwa yang dipersempit oleh materialisme sehingga menjadi hanya nafsu. Materialisme adalah kalau ada kasus korupsi, yang kita sesali adalah uang atau barang yang hilang. Korupsi kita perlakukan sebagai kasus materialisme. Tidak kita pandang sebagai kasus moral dan kualitas kemanusiaan, yang membuat kita sedih kenapa manusia kok mencuri. Materialisme membuat manusia pandai melihat uang dan harta, tapi buta terhadap martabat hidup, karena tidak tampak oleh mata. Kaum materialis biasa merasa bangga ketika seharusnya merasa hina, atau malah melambai-lambaikan tangannya ketika semestinya merasa malu.


Materialisme adalah menjalani Agama dengan mengonsep surga sebagai puncak limpahan kekayaan, sehingga bisa mengalami kemewahan materialistik, yang tidak tercapai dalam kehidupan di dunia. Penuhanan materi adalah beribadah dengan pelaksanaan syariat, tanpa titik berat hakikat. Adalah shalat untuk mendapatkan laba, dan bersedekah untuk memperoleh kelipatan dan penggandaan pahala. Yang itu semua dihitung dengan pola pikir materi, bukan perjuangan kerinduan untuk memperdalam kualitas cinta kepada Tuhan. Bukan “faman kana yarju liqo`a Robbihi”, mendambakan perjumpaan cinta dengan Sang Maha Kekasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar