Tatkala sebagian kecil Ummat Islam berkumpul di Jakarta pada 411-212, yang menggetarkan semua pihak adalah jumlahnya. Karena penyembah materialisme hanya terlatih melihat angka, benda, dan jumlah. Hampir tak ada yang “kasyful hijab”, menguak rahasia kualitas nilai di baliknya. Juga jarang yang berpikir bahwa perhelatan cinta itu namanya sangat dilematis secara nilai dan ilmu. Misalnya, kalau tidak disebut “damai”, pasti salah. Tapi kalau disebut “damai”, tidak realistis.
Sebab kedamaian itu produk keadilan. Damai tidak bisa berdiri sendiri, bukan program yang an sich. Damai itu akibat, dan sebabnya adalah keadilan. Jangan ajak orang berdamai sambil menganiayanya. Rangkullah untuk bekerja sama membangun keadilan, hasilnya adalah kedamaian.
Wajah 411-212 membuktikan kepada dunia bahwa ia berlangsung damai, tulus, dan khusyuk. Bahkan ia dinamakan “super damai” karena mendalamnya niat untuk membuktikan jiwa damai Ummat Islam. Padahal asal-usulnya mereka berkumpul justru karena menuntut keadilan. Damai yang sejati, genuine, dan otentik terjadi kalau keadilan dilaksanakan. Bukan hanya “gambar kecil” Pulau Seribu, tapi terutama “gambar besar”: cacat Negara, krisis kepemimpinan yang sangat parah, ketidakseimbangan pemerintahan, ketimpangan ekonomi, terkikisnya martabat bangsa, multi-disharmoni dalam kehidupan bangsa dan masyarakat.
Meskipun demikian, keadilan dan kedamaian memang bukan untuk dicapai, melainkan untuk dituju. Diperjuangkan. Terus diperjuangkan di jalan panjang. “Wa idza faraghta fanshab, wa ila Robbika farghab”. Selesai satu tahap, kerjakan berikutnya. Tapi berharapnya hanya kepada Allah, tidak kepada Pemerintah(EAN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar