Sebaik-baik
umara` (penguasa) adalah mereka yang mau datang kepada ulama’ dan seburuk-buruk
ulama’ adalah mereka yang datang kepada umara`#standupreligi
Semua yang ada, selain
Allah Swt disebut dengan ‘Alam. ‘Alam artinya tanda
atau tetenger. Kehadiran sebuah tanda merupakan representasi atau
personifikasi dari yang ditandai. Berhubung yang ditandai sengaja tidak hadir
secara langsung, karena beberapa hal yang menuntut adanya “jarak”, maka
ke”mengenal”an pelihat tanda dengan yang ditandai, akan sangat tergantung
kepada kemampuannya dalam membaca tanda. Di situlah, pembaca tanda memerlukan
kelengkapan yang cukup agar ke”mengenal”annya bisa sesuai dengan yang
senyatanya.
Nah, pengenalan
terhadap sesuatu sesuai dengan yang senyatanya, itulah yang disebut ‘Ilmu.
Orang yang punya ilmu disebut ‘Alim (bentuk mufrad) dan Ulama’ (bentuk
jamak). Dengan demikian, maka seorang ‘Alim adalah orang yang
memiliki kemampuan membaca tanda sesuai dengan yang sebenarnya, sehingga
memiliki tingkat ke”mengenal”an kepada yang ditandai lebih sesuai dengan yang
sebenarnya dibandingkan dengan orang-orang pada umumnya (arab: awam),
atau bahkan memang benar-benar seperti yang sebenarnya atau senyatanya.
Ulama’ bisa diartikan sekumpulan orang yang
memiliki kualifikasi demikian itu, atau bisa satu orang dengan kapasitas sekian
banyak orang. Oleh karenanya, ke”saksi”an (syahadat) seorang ulama’ berbeda
tingkatannya dengan syahadat orang awam karena
berdasarkan atas tingkat ke”mengenal”an yang berbeda. Ucapan Asyhadu an
Laailaha Illa Allah wa Asyhadu Anna Muhammada rRasulullah secara
harfiah sama, tapi dengan bobot yang berbeda. Begitu juga persaksian terhadapa ‘alam semesta.
Shalat seorang ulama’ berbeda bobot dengan shalat orang awam meskipun
secara formal prosedural, tampak sama. Takbir, ruku’, sujud, tasbih,
tahmid dan at-tahiyyatnya tampak sama, tapi bobotnya
berbeda.
Takbir seorang ulama’ bukan sekedar ucapan,
tapi pengakuan, kesakisan dan persaksian. Ruku’ dan sujudnya
merupakan jalan hidup menyertakan seluruh sel sampai bagian yang terkecil dari
dirinya. At-tahiyyatnya merupakan sikap hidup, dan salamnya
adalah komitmen cinta kepada semua makhluk Allah Swt.
Setelah diulangi
beberapa kali, maka muncul kesadaran bahwa At-tahiyyat (semua
penghormatan), diajukan secara total, kulli, dan juz’iy hanyalah
kepada Allah Swt yang selalu dia saksikan di balik “tanda” yang berupa ‘alam semesta
dan bertatap muka secara spiritual dengan Kanjeng Nabi Muhammad saw
melalu assalamu alaika (atas panjenengan, bukan alaihi yang
artinya atas dia) ayyuhannabiyyu warohmatullahi wabarokatuh.
Kemudian bersalam ke
kanan dan ke kiri sebagai komitmen cinta kepada sesama hamba Allah Swt.
Demikian itu menjadikan seorang ‘alim atau ulama’ selalu
mendapatkan transfer cahaya dari Allah Swt melalu para nabi, lebih-lebih
Kanjeng Nabi Muhammad Saw sehingga semua hidupnya adalah shalat.
Dan karena itulah Kanjeng Nabi Muhammad Saw bersabda, ”sesungguhnya ulama’
adalah pewaris para Nabi” (HR. Bukhori, Abu Daud, Tirmidzi, Ibn
Hibban, dll). (ingat beliau tidak menyatakan pewaris seorang nabi, tapi para
nabi).
Dan karena itu pula
Gusti Allah Swt menggaris bawahi:“Sesungguhnya para ulama’ dari hamba-hamba
Allah, hanyalah takut kepada Allah“.
Para ulama’ berposisi
tegak kepada Allah dan membawakan kebenaranNya yang dibawakan oleh para nabi.
Jadi posisinya sebagai penyambung antara ummat dengan Rasulullah Saw dan Allah
Swt. Dengan demikian, hal yang paling penting bagi seorang ulama’ adalah
konsistensi atau keistiqomahan (menjaga garis gravitasinya dengan Allah
dan Rasulullah) sehingga tidak “miring” ke kanan atau ke kiri.
Dalam konteks
sosio–kultural, ulama’ menjadi “pathok”an nilai yang
menjadi “pusat tali kambing”, agar “kambing” tetap berada pada area yang benar.
“Pathokan tali kambing” diharapkan bisa menghujam dalam ke
kedalaman bumi (paku bumi) sehingga tidak mudah goyah dan geseh oleh
tarikan-tarikan kepentingan kambing-kambingnya. Apalagi lepas mengikuti dan
mencari ke mana “kambing” bergerak, sehingga “kambing” menjadi “pathok” dan
“pathok” menjadi “kambing”.
Tentu saja, ulama’ tetaplah
manusia yang hidup di bumi yang makan, minum, tidur, kawin, dan bermasyarakat
sebagaimana umumnya manusia. Tapi dalam struktur spiritual berfungsi
mencerahkan dan menjadi barometer nilai sebagimana telah diterangkan.
Karena itulah, sembari
menjalankan kehidupan sebagaimana normalnya orang hidup, para ulama’ diingatkan
oleh kanjeng Nabi Muhammad Saw mewanti-wanti (sebagaimana disitir oleh Imam
Ghazali di dalam kitab Ihya’ Ulumiddin Juz II, hal. 142):
- ’Sebaik-baik umara` adalah mereka yang mau datang
kepada ulama’ dan seburuk-buruk ulama’ adalah mereka yang datang kepada
umara`.
- Para ulama’ adalah kepercayaan para Rasul atas
hamba-hamba Allah selama mereka tidak berbaur dengan penguasa, maka
apabila mereka melakukannya, sungguh mereka telah mengkhianati para Rasul,
maka waspadai dan jauhilah mereka”.
Tentu kita bisa
berdiskusi mengenai makna atau maksud dari hadits di atas, apakah mau kita
ambil secara tekstual-material ataukah kontekstual- spiritual. Tapi yang pasti,
masyarakat muslim membutuhkan sesepuh dan pinisepuh yang bisa menjadi penerang
jalan menuju Allah, tanpa ada tendensi kepentingan penguasan secara ekonomi,
politik, maupun golongan atas golongan. Dan di situ, siapa lagi kalo
bukan ulama’ yang netral dari pengaruh penguasa modal dan
kekuasan politik. Di tengah-tengah di mana masyarakat mengalami pergeseran
kiblat, dari kebenaran sejati kepada kebenaran palsu, dari “Tiada Tuhan selain
Allah” kepada “Menuhankan semuanya selain Allah”, yang penting menguntungkan.
Kini, hampir semua
penguasa (rezim) dalam semua tingkatan, lahir dari proses transaksi
material-ekonomi, baik dengan pemilih maupun dengan penyuplai dana kampanye dan
tim sukses. Kini, tidak begitu diperlukan seorang pemimpin yang lahir dari
kematangan spiritual, moral, dan kemampuan kepemimpinannya, manakala tidak bisa
membawa keuntungan secara material bagi suatu kelompok atau kelompok tertentu.
Atau seseorang yang
“lulus” secara moral, spiritual, dan karakter kepemimpinan, tidak akan mau
menempuh jalan menuju kursi kepemimpinan formal, karena jalan menuju ke sana,
telah dipenuhi oleh para pemain dan pemilik modal yang mau tidak mau memaksanya
untuk bekerjasama atau berkolaborasi, jika ingin menang. Jika tidak, terimalah
“kekalahan”.
Masyarakat juga sudah
tidak konsisten dengan idealisme kelahiran sang “ratu adil” atau Imam
Mahdi, karena dikuasai oleh pola pikir “wani piro”. Adagium “ada uang abang
disayang, tak ada uang abang ditendang” kini menggurita ke semua aspek
kehidupan, terutama pada saat kontestasi pemilihan, dalam semua tingkatan.
Dan Karena kiblat telah
bergeser kepada materi, maka ushalli-nya sudah tidak lagi lillahi
ta’ala. Ushalli di sini tidak bisa dipersempitkan kepada
“aku shalat” saja, tapi “aku sekolah atau menyekolahkan, aku belajar atau
mengajar, aku berkeluarga atau mengkeluargakan. Aku memilih atau dipilih, aku
jadi PNS, anggota TNI/Polri, anggota DPR, hakim, jaksa, kepala desa sampai
presiden, aku bertani, berdagang, dst.
Dan at-tahiyyatu-pun
sudah tidak lagi lillahi, tapi kepada siapa yang dianggap sebagai
“pok”nya uang. Dan karena dalam konteks kehidupan bernegara, semua diatur
melalui undang-undang, maka pemegang kendali terhadap undang-undanglah yang
menjadi pusat penghormatan. Jadilah at-tahiyyatu lil rezim. Kemudian
karena al rezim membutuhkan al uang, maka al
rezim pun ber-at-tahiyyat kepada pemilik modal, dan
begitulah ubeng-ubengannya.
Belajar kepada yang di
atasnya, mentalitas masyarakat pun menjadi rusak, sehingga secara berjamaah ber at-tahiyyatu
lil uang, maka konstruksi dan relasi kehidupan, menjadi sangat naif,
sekedar simbiosis mutualisme untuk mencari al uang. Dan disinilah,
saya kira peran Ulama’ sangat menentukan. Apakah mau menjadi
pemantul cahaya ataukah mengalami gerhana oleh faktor yang sama. Itulah maksud
dari sabda Rasulullah Saw di atas.
Ahmad
Muzammil
Pengasuh Ponpes Rohmatul Umam Kretek, Bantul, Yogyakarta. Ketua
Lembaga Bahtsul Masail NU DIY. Aktif mengikuti forum tadabburan Maiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar